Koalisi Besar Perubahan ‘Membahayakan’
Boleh jadi prediksi ini masih terlalu dini, tetapi dilihat dari sinyal dan tandanya, ketika Ketum Golkar dan JK hadir pada acara Bukber di Nasdem Tower Gondangdia —bertepatan setelah penandatangan piagam deklarasi ketiga partai anggota Koalisi Perubahan— partai ketiga pemenang terbesar di Pemilu 2019 itu entah sendiri atau bakal menarik anggota partai lainnya di KIB, memberikan sinyal bakal bergabung ke Koalisi Perubahan.
Jika ya KIB kemudian bergabung ke Koalisi Perubahan: itulah kenapa ujug-ujug banyak di media sosial disebutnya sebagai Koalisi Besar Perubahan. Benarkah?
Mungkin hanya dilihat dari sejarah potensinya, jika dihitung dari hasil perolehan suara parpol di Pemilu 2019, melebihi 40%. Seolah angka gigantis sebagai dasar dan kunci “pembuka” peluang pemenangan di Pilpres 2024.
Tetapi, itu berdasarkan hanya komparatif angka historis, bukan realitas pada tingkat kemampuan “vote getters” yang sesungguhnya pada saat ini bisa berubah drastis secara signifikan, dikarenakan KIB eks anggota partai oligarki pendukung pemerintahan Jokowi itu dalam implementasi program, aksi dan gerakan melalui dukungannya banyak meloloskan UU strategis dengan cara selalu melawan arus dan bertentangan serta menabrak wasilah pasal-pasal perundang-undangan konstitusi.
Terkesan meninggalkan jejak dan citra “buruk” tertempel dan tersematkannya: bukan sindiran, nyinyir, fitnahan apalagi hoax. Apakah juga itu bakal mampu mendulang penambahan tingkat perolehan suara?
Yang jelas, dikhawatirkan yang akan terjadi justru sebaliknya akan “membahayakan”: ketika KIB masuk ke Koalisi Perubahan malah terkena getah dan tulahnya.
Seperti dikemukakan oleh banyak pengamat dan analisis politik terdahulu, dengan peran LBP dan AHT yang menjabat sebagai Menko Investasi dan Kemaritiman, plus Menteri Perekonomian di Kabinet Indonesia Maju, betapa posisinya sangat amat strategis.
Ibarat mesin mekanik politik mereka berdualah yang nyaris mengendalikan organik Kabinet. Bahkan, lebih besar dalam konteks sistemik di dalam struktur Pemerintahan secara menyeluruh.
Sehingga, terlepas dari paham dan mengerti tidaknya Jokowi hal-ihwalnya, pendalaman filosofinya dan perhitungan matematis benefitnya dari suatu proyek —makanya sering disebut “planga-plongo”, dari para pembisiknya itu Jokowi “dilenakan” hanya tinggal mengambil putusannya saja.
Terbukti fakta faktualnya, LBP itu dikenal sebagai menteri segala urusan, nyaris mirip Perdana Menteri di sistem pemerintahan parlemen atau federal.
Atau, boleh jadi keduanya menjadi inisiator bagi terjalinnya meluasnya jejaring kebekerjasamaan dengan oligarki konglomerasi korporasi milik swasta dan atau milik negara yang justru sekarang semakin besar berporos ke RRC-Tiongkok.