Crooked Coalition
“Crooked Coalition” atau koalisi kroyokan itu baru upaya memastikan tujuan, sasarannya ditargetkan untuk menang.
Padahal, meski partai mereka berjumlah lebih banyak —tengah dijajagi gabungan antara KIB dan KIR, boleh jadi sesungguhnya bakal tetap kalah.
Di benak dan kalbu mereka sudah ada perasaan kuatir, was-was, cemas, dan galau untuk tidak mau menerima kekalahan.
Mereka pun telah berhitung dan menyadari siapa lawan yang akan ada dihadapinya: melihat potensi, ketangguhan dan kekuatannya.
Makanya, caranya harus dikeroyok sekalian gabung ditambah PDIP, ketimbang semuanya mereka harus melawannya secara koalisi satu per satu. Kekalahan itu sudah di depan mata.
Padahal, keroyokan itu bagi orang Indonesia umumnya disebut coward atau pengecut. Bagi saya yang orang Cirebon dibilang kecing atau Betawi-Bekasi disebut atar.
Coward, kecing, maupun atar di dalamnya sudah ada nuansa dan aura ketakutan dan kecemasan yang amat sangat menyongsong akan tibanya kekalahan itu.
Itulah gambaran manifestasi kroyokan dari gabungan partai KIB dan KIR kemungkinan bakal bergabung PDIP yang amat meyakinkan —padahal sesungguh absurd, hazard dan false— dengan menyebut nama baru Koalisi Besar.
Hanya besar dalam jumlah angka historis elektabilitas dan elektoralnya saja di 2019 lalu, yaitu 46,22%. Belum termasuk, suara PDIP 19,33%. Itu berarti angka gigantis, 64, 55%.
Mereka hanya berkoar, bak peribahasa “Tong Kosong Bersuara Nyaring”. Mereka hanya bersuara nyaring, tapi tak ada isinya.
Atau ada adagium, “Elite Tengah Berpesta Elektoral di Istana Menara Gading”, padahal di altarnya ditinggalkan oleh penonton atau pengikutnya akar rumput rakyatnya.
Tetapi, dalam konteks realitas kekinian di Pemilu 2024 nanti belum dapat menjamin hal perolehan suara berjumlah yang sama, ada bobot berisi atau didukung akar rumput.