Istana ‘Menara Gading’ yang Retak
Riuhnya Ganjar Pranowo kembali ke PDIP —atas desakan lobby-lobby Jokowi kepada Megawati menuaikan hasil —memang paling tidak membuat PDIP tak “teralienasi” lagi, seperti sebelumnya. Yang semula seperti seolah “terpenjara” sulit menentukan bacapres, juga dalam mencari teman pasangan koalisi, meski itu tak diperlukan. Tetapi, terkesan “lonely” itu kelihatan jelas.
Jadi, sekarang situasi dan kondisi di kandang banteng moncong putih sudah mulai bergeliat seraya diiringi suara-suara mengembik banteng-banteng itu sangat ramai: ada yang militan pro-trah Soekarnoisme dengan yang kontra pro-Jokowi.
Tapi, jangan salah keramaian itu juga melanda di Istana “Menara Gading” tempat berhimpun kalangan elite politik, terutama para Ketum Parpol eks partai oligarki, partai pendukung pemerintah, pendukung Jokowi.
Keriuhan dan keramaian itu pun, jelas penyebabnya Jokowi juga, “political round table” yang dilakukannya banyak menggagas koalisi anu bacapres anu, termasuk yang terakhir kemungkinan terbentuk Koalisi Besar —bahkan Koalisi Besar-Besar Sekali, gabungan KKIR, KIB sekaligus PDIP juga sekalian , ternyata hanya “pepesan kosong” belaka.
Istana “Menara Gading” itu juga sesungguhnya hanya “pepesan kosong” juga, tak lebih hanya simbol fantasi curahan daya khayal yang melambung tinggi di awang-awang—analoginya nyaris seperti mimpi di siang bolong— padahal, jejalin dan jejaring elektoral dan elektabilitas sudah tercerabut dari akar-akar realitasnya: sangat absurd, hazard alias semu dan sesungguhnya nyaris “zonk”.
Boleh jadi itu dikarenakan nyaris selama satu dekade terlenakan oleh kenikmatan kekuasaan otoritarian otoriter yang digenggamnya.
Sehingga, membuat mereka lupa daratan dan lautan. Harus di check up secara medical treatment apakah mereka sudah lupa ingatan pula?
Padahal, akar-akar realitas itu sama dan sebangun dengan kekuasaan daulat rakyat akar-akar rumput pendukungnya yang sudah lari “tunggang langgang” meninggalkannya. Lho, apa sebabnya?
Gampang! Rakyat telah mengingatnya dalam ruang kesadaran dan kecerdasan otak akal sehatnya yang sudah memulihkan kewarasannya, berupa “rekam jejak” yang dari sekian deretan peristiwa telah membuat semakin susah dan menderita mereka: semakin tidak setara, tidak adil, timpang semakin miskin tidak sejahtera, dan selalu ada adu domba yang membuat seluruh rakyat tak bersatu, mudah diagitasi, difriksi dan dikonflik, terpecah dan terbelah.
Dan realitas masih adanya dukungan rakyat akar-akar rumput kepada mereka itu memang akan sangat sulit dibuktikannya. Tidak semudah membuktikan data fakta faktual apa-apa yang mereka rekayasa itu dengan cara berbayar dan dibayar, seperti: melalui lembaga survei elektoral dan elektabilitas yang sudah dikemas hasilnya sesuai pesanan; serta para buzzeRp dan influenceRp yang “men-drafter” dan men-driver” seluruh aplikasi di media-media sosial dengan mem-bully, membuat hoax bahkan memfitnah lawan politiknya.
Atau semenjak dari hulu berbayar hingga ke hilir pun demikian: nanti seperti segala “permainan kecurangan” di periode babak akhir perhitungan suara yang sungguh kondisi dan situasinya memang sudah sangat rentan dan mudah dimanipulasi oleh KPU dan Bawaslu sebagai lembaga pemegang otoritas Pilpres dan Pemilu yang boleh jadi dari awal sudah “di-setting” sedemikian.
Maka, ketika segala sesuatu serba berbayar sudah pasti yang akan mendukung mereka, adalah rakyat akar-akar rumput “berbayar” pula. Adagium politik pendukung mereka menjadi: “No Political No Money”. Lantas, seberapa besar ongkos oligarki korporasi yang mem-backing akan membiayai mereka?