Lawan Jor-joran Tebar Sembako, Tapi Rakyat Turkiye Tetap Pilih Erdogan
Jakarta (SI Online) – Pengamat politik luar negeri Tengku Zulkifli Usman menyebutkan, ada pelajaran berharga yang bisa diambil Indonesia dari Pemilu Turkiye 14 Mei 2023 lalu.
Pelajaran yang dimaksud adalah pengutamaan politik adu gagasan, adu ide dan adu narasi yang mewarnai secara dominan di ruang publik di Turki.
Sebaliknya, politik uang (money politics), berupa bagi-bagi sembako seperti beras dan minyak goreng tidak dipilih oleh masyarakat Turki.
“Partai AK Party, partainya Erdoğan (Recep Tayyip Erdoğan) ini berhasil mendidik masyarakat Turki. Ada transfer narasi dan prestasi yang bagus dari Erdogan. Sehingga meski dikasih sembako dan lain-lain oleh lawannya, mereka tetap nggak milih,” kata Tengku Zulkifli dalam sebuah diskusi, Rabu (24/5/2023).
Menurut dia, Kemal Kılıçdaroğlu, yang didukung CHP (Partai Rakyat Republik) dan mendapatkan bantuan dana 300 miliar Lira dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, ternyata kalah sama dari Erdogan yang tidak memiliki dana yang besar, karena secara natural memiliki basis massa tradisional dan memiliki manajemen kampanye yang bagus.
“Meski CHP sudah bagi-bagi sembako seperti minyak goreng dan beras, serta berhasil mengerahkan massa dalam jumlah besar. Masyarakat Turki nggak peduli, mereka nggak pilih, karena pakai cara-cara yang tidak mendidik. Tapi lawan Erdogan bisa masuk putaran kedua, itu sudah luar biasa. Saya yakin Erdogan tetap akan menang,” katanya.
Tengku Zulkifli mengaku selalu berkomunikasi dengan para pengamat politik di Turki, bahwa berpolitik dengan bagi-bagi sembako atau politik uang tidak dipilih masyarakat Turki.
Ia berharap agar partai di Indonesia bisa mencontoh AK Partai (Partai Partai Keadilan dan Pembangunan), yang dianggap sebagai partai modern.
“Karena itu, Indonesia ini sudah saatnya move on dari cara-cara berpolitik yang lama, itu sudah usang. Kita sudah reformasi 25 tahun, sudah cukup membiarkan budaya buruk seperti ini dalam politik kita,” katanya.
Masyarakat, lanjutnya, seolah-olah tidak pernah diajak berpikir, bahkan dianggap tidak bisa berpikir, cukup diberi minyak goreng dan beras saja dalam setiap pemilu, mereka akan pilih.
“Padahal politik itu, sejatinya adalah transfer narasi ke generasi. Coba lihat para ketua umum itu tidak ada yang mau turun, mereka maunya jadi pejabat terus. Padahal sudah tua, encokan, rematik dan tidak ada waktu belajar,” katanya.
Sebagai pendidikan politik, harusnya mereka turun dan ada transfer narasi dari generasi ke generasi.