Soekarno, Pelacuran dan G30S PKI (Bag-2)
Pemahaman Agama Soekarno
Soekarno menyatakan bahwa ia mempunyai konsep tentang Tuhan sendiri. Ia berbeda dengan gurunya, Tjokroaminoto. Meskipun bertahun-tahun ketika remaja ia ikut Tjokro, namun menurutnya ideologi Tjokro sempit.
Kata Soekarno, ”Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam tiga dimensi. Dimensi yang kedua dari tiga hal itu adalah ketuhanan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Bahkan selagi aku melangkah ragu pada awal jalan yang menuju kepada ketuhanan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan seseorang. Menurut jalan pikiranku, kemerdekaan bagi kemanusiaan meliputi juga kemerdekaan beragama.
Ketika konsep keagamaanku melebar, ideologi Pak Tjokro dalam pandanganku menjadi semakin sempit dan semakin sempit. Pandangan Pak Tjokro tentang kemerdekaan untuk kemerdekaan tanah air kami terasa kaku karena ditinjau melalui lensa mikroskop agama Islam.
Aku tidak lagi pergi kepadanya untuk belajar. Juga kawan-kawannya tidak lagi menjadi guruku. Meski aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi menjadi seorang penerima. Aku sekarang sudah menjadi seorang pemimpin. Aku memiliki pengikut. Aku memiliki nama baik. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan Pak Tjokro. Dalam hal ini tidak terjadi perubahan sikap yang mendadak. Yang terjadi lebih mirip dengan pemisahan yang berlangsung sedikit demi sedikit.”
Meski demikian, Soekarno menyatakan tetap menghormati gurunya, Pak Tjokro. Bahkan ia menyatakan, ”Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan yang besar di bidang politik, kami secara pribadi tetap memiliki hubungan yang erat. Bangsa Asia tidak menemui kesulitan untuk membedakan ideologi dengan perikemanusiaan. Ketika seorang nasionalis bernama Haji Misbach menyerang Pak Tjokro secara licik pada saat kongres, aku menuntut pada dia untuk meminta maaf kepada kawan lamaku itu. Haji Misbach akhirnya mengemukakan penyesalannya… Sama halnya dengan Pak Tjokro. Sampai saat aku menutup mata nanti, aku akan tetap menulis namanya dengan kelembutan hati.”
Soekarno mengatakan dirinya adalah sosialis bukan komunis. Ia percaya kepada Tuhan, sedang komunis tidak percaya kepada Tuhan. Ia menyatakan ideologinya sosialisme Indonesia.
Kepada Cindy Adams ia menceritakan ideologinya, ”Sejak berada di sekolah menengah aku telah menjadi seorang pelopor. Dalam bidang politik aku tidak mengambil satu pola saja, yang mungkin menjadi sebab mengapa aku jadi sasaran dari begitu banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi di samping itu latar belakangku juga tidak sama dengan siapapun juga. Kakekku menemukan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari ibu, Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku humanisme. Dari Pak Tjokro datang sosialisme. Dari kawan-kawannya datang sosialisme.”
Soekarno dan Pelacuran
Ideologi sosialismenya ini membawa Soekarno tidak mengharamkan pelacuran. Fenomena pelacuran ia menganggap biasa saja. Bahkan ia dan teman-temannya ketika di Bandung pernah mengadakan rapat di tempat pelacuran, untuk menghindari dari intaian polisi Belanda.
Simaklah pendapat Soekarno tentang pelacur, ”Pelacur adalah mata-mata paling baik di dunia. Aku telah membuktikan di Bandung. Dalam keanggotaan PNI di Bandung terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh. Kalau menghendaki mata-mata yang hebat, berilah aku seorang pelacur yang baik. Mereka sangat baik dalam tugasnya.”
Selain tugas pelacur dapat mengorek informasi dari polisi polisi Belanda dengan bermain cinta, pelacur itu juga menyumbangkan keuangan yang cukup besar untuk partainya.
“Mereka adalah satu-satunya anggota kami yang selalu mempunyai uang. Mereka menjadi penyumbang keuangan partai yang baik apabila memang diperlukan. Dan mereka bukan saja penyumbang yang menyenangkan, tapi juga penyumbang yang besar. Selain iuran biasa, mereka juga memberikan sumbangan ekstra. Aku dapat menggunakannya untuk kepentingan lain,” terang Bung Karno.
Kawannya yang bernama Ali di PNI, protes kepada Soekarno tentang pemanfaatan pelacur ini. Bung Karno membantahnya.