MUHASABAH

Ketakwaan Adalah Kontrak Sosial Terbaik

“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.” Sayidina Ali ra.

Alkisah ada seorang bernama Tomi, ia adalah pegawai profesional yang cukup berhasil. Kini Tomi menjabat sebagai Kepala BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) di desanya. Tugas ini cukup berat karena Tomi harus mengelola aset desa yang sangat besar guna mendukung program pembangunan Pak Lurah.

Tomi diangkat menjadi Kepala BUMDES lantaran ia pernah sukses membantu Pak Lurah terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa beberapa tahun silam. Melihat kesuksesannya itu, timbul ambisi Tomi untuk mengikuti jejak Pak Lurah yang saat ini tengah menjabat periode terakhir. Oleh sebab itu, di sela kesibukannya mengemban tugas berat sebagai Kepala BUMDES, Tomi juga aktif membangun modal politiknya dengan menduduki berbagai jabatan strategis di desa.

Ia menjadi Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Desa (MED), Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Desa (PSSD), Pembina Gerakan Pemuda Desa (Gaped), Ketua Panitia Harlah Ustadz Desa (UD) ke-11, Anggota Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Uang Desa (LPUD), Wakil Desa di District Olympic Committee (IOC) Kecamatan Tegal Gundil dan Interchange Basketball Federation.

Tomi bekerja keras melayani Pak Lurah dan masyarakat desa dengan sepenuh hati. Ia bahkan memasang fotonya di hampir semua mesin penggilingan padi karena tahu bahwa seluruh warga desa membutuhkan beras dari mesin itu. Di tengah kesibukannya, Tomi jadi kurang fokus menangani berbagai tantangan BUMDES karena lebih mementingkan modal politiknya.

Ketika tiba saatnya pemilihan kepala desa, tiba-tiba Tomi merasa lemas dan patah semangat. Pasalnya, Pak Lurah justru mencalonkan anaknya sendiri sebagai penggantinya, bukan Tomi. Tomi merasa sangat kecewa dan terkhianati. Harapan, kerja keras dan dedikasinya selama ini sirna seketika, bagai debu yang diterbangkan angin.

Rakyat desa pun ikut dirugikan karena selama menjabat, Tomi lebih mementingkan ambisinya daripada melayani mereka. Rupanya banyak kader desa lain yang juga merasa terabaikan akibat nepotisme Pak Lurah ini. Padahal, nepotisme bertentangan dengan sistem meritokrasi yang seharusnya diterapkan dalam pemilihan kepala desa.

Nepotisme cenderung menimbulkan ketidakadilan, keputusan yang tidak objektif, serta orang-orang yang tidak kompeten menduduki posisi penting. Hal ini tentu merugikan desa secara keseluruhan. Oleh sebab itu, penting untuk memberantas praktik nepotisme di semua lini melalui peraturan yang tegas dan budaya meritokrasi yang kuat.

Jika melihat hubungan Tomi dan Pak Lurah melalui kacamata teori kontrak sosial, seharusnya terdapat kesepakatan bahwa Kepala BUMDES bersedia melayani desa dan Pak Lurah dengan loyal, kompeten dan berintegritas. Sebagai imbalannya, Pak Lurah berkewajiban memberi Kepala BUMDES dukungan, otonomi dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.

Sayangnya, Pak Lurah justru memecah kontrak sosial ini dengan nepotisme yang dilakukannya. Ia mengingkari janji untuk mendukung Tomi sebagai penggantinya dan justru memaksakan anaknya sendiri tanpa mempertimbangkan aspek meritokrasi. Padahal selama ini Tomi sudah menunjukkan loyalitas, kompetensi dan integritasnya dalam melayani desa dan Pak Lurah.

Merasa dikhianati, Tomi pun bertekad hanya akan berharap pada Allah SWT semata. Ia sadar selama ini salah menempatkan harapan dan pengabdiannya. Sejak awal seharusnya Tomi mengaitkan kontrak sosialnya dengan Allah. Meski terdengar kontradiktif, ternyata konsep kontrak sosial yang melibatkan Allah dapat dilakukan dan bahkan jauh lebih efektif.

Dalam hal ini, Tomi tetap melakukan perannya dalam kontrak sosial kemasyarakatan, namun dengan menganggap Allah sebagai saksi dan penjamin kontrak tersebut. Dengan cara ini, meskipun Pak Lurah mengingkari janjinya, Tomi tetap termotivasi berdedikasi pada tugasnya karena yakin Allah menghargai usahanya dan kelak akan memberi balasan yang setimpal, di dunia maupun di akhirat.

Kontrak sosial model ini dapat memberi semangat spiritual bagi Tomi untuk tetap berdedikasi pada tugasnya. Ia juga dapat beribadah memohon petunjuk dan perlindungan Tuhan dalam menghadapi ujian kekecewaan dari Pak Lurah. Prinsip ketauhidan yang dipegang teguh Tomi membuatnya tak tergoda hanya demi kepentingan duniawi belaka.

Jadi, kontrak sosial yang berbasis ketakwaan jauh lebih unggul dan kokoh daripada sekadar berdasar ambisi pribadi yang rapuh. Dengan melibatkan Allah dalam kontrak sosialnya, Tomi bisa menjadi pemimpin yang lebih efektif dan bermoral, serta teladan bagi masyarakat desa dalam hal pengabdian dan ketulusan.

Adapun Pak Lurah, biarlah ia menikmati hasil permainan kucing-kucingannya. Suatu saat nanti pasti dia akan menemui kekecewaan akibat perbuatannya sendiri. Semua ada masanya, kelak tiba saatnya mulut terkunci dan kata-kata tak bermakna lagi.

Dengan demikian, kontrak sosial yang melibatkan Allah dapat memberi fondasi spiritual dan moral yang kokoh dalam kepemimpinan Tomi. Ia tetap melakukan perannya sebagai Kepala BUMDES yang kompeten dan melayani masyarakat dengan baik, tapi dilandasi ketakwaan untuk mendapat ridha Allah semata.

Itulah hikmah berharga yang didapat Tomi di tengah kekecewaannya. Apalagi ada janji yang sudah pasti akan terjadinya. “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At Talaq: 2-3)

Rahmat Mulyana
24 Oktober 2023

Artikel Terkait

Back to top button