Menghapus Gelar Penjudi Online Terbanyak di Dunia, Bisa?
Mendapat gelar sebagai negara terbanyak jumlah penjudi onlinenya di dunia adalah hal yang memalukan. Pasalnya, Indonesia adalah negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Dan Islam telah melarang aktivitas judi.
Pasti ada bahaya yang mengintai manusia jika larangan Allah dilanggar. Pun demikian dengan larangan judi, semakin kesini semakin tampak berbagai kemudaratan akibat judi online. Teranyar, kasus polwan di Mojokerto Jawa Timur yang nekat membakar suaminya hidup-hidup hingga tewas. Aksi nekatnya dipicu oleh sang suami yang juga polisi, kerap menghabiskan uang penghasilannya untuk bermain judi online (tempo.co, 10/06/2024).
Mei lalu, seorang anggota TNI AL tewas bunuh diri karena terlilit utang hingga Rp819 juta. Utang tersebut berasal dari berbagai sumber termasuk Bank, digunakan untuk bermain judi online (tempo.co, 20/05/2024). Sejak tahun 2023 hingga April 2024, sudah ada 14 kali percobaan bunuh diri gegara judi online (mediaindonesia.com, 19/04/2024).
Judi adalah akar kejahatan. Sejumlah kriminalitas terjadi akibat judi online. Seperti fenomena gunung es, yang nampak di permukaan jauh lebih sedikit dibandingkan yang sebenarnya. Teranyar, pegawai bank di Maluku menilap uang kas sebanyak Rp1,5 miliar untuk bermain judi online (tempo.co, 16/06/2024).
Tahun 2023 lalu, oknum anggota Densus 88 membunuh sopir taksi online dan mencuri mobilnya, ada pula oknum aparat yang menggadaikan 11 mobil rental. Masih di tahun 2023, dua orang karyawan minimarket membuat rekayasa perampokan, padahal uang Rp95 juta itu mereka curi. Ada pula seorang kurir ekspedisi menggelapkan uang pembayaran pengiriman paket dari konsumen, jumlahnya terkumpul Rp5,1 juta. Semua karena judi online (tirto.id, 04/05/2023).
Sederet fakta kerusakan akibat judi online tak membuat surut langkah pemburu harapan semu. Buktinya, nilai transaksi judi online melesat hingga Rp600 triliun pada kuartal pertama tahun 2024, nyaris 2x lipat dibandingkan tahun 2023 yang mencapai Rp327 triliun. Setidaknya, ada tiga faktor yang membuat penuntasan judi online tak pernah sampai pada endingnya.
Pertama, miskin iman. Kehidupan yang diwarnai oleh sekularisme membuat agama tercampakkan, hidup pun hanya untuk mencari materi. Tak peduli halal dan haram, yang penting mendapatkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Tau bahwa judi hukumnya haram, namun angan-angan ingin cepat kaya membuatnya memilih berjudi. Persetan dengan akhirat.
Kedua, miskin harta. Sistem ekonomi kapitalisme menciptakan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Kemiskinan ekstrem pun selalu melekat dalam kehidupan manusia di sistem ini. Miskin harta yang kawin dengan miskin iman melahirkan aksi nekat melawan aturan, termasuk hukum agama. Ini yang menumbuhsuburkan judi online.
Ketiga, miskin pelayanan. Sistem kapitalisme menyebabkan negara abai dalam melayani rakyatnya. Bisa dikatakan miskin pelayanan meskipun aslinya zero pelayanan. Bahkan mindset untung rugi menjadi pondasi dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan publik.
Di sisi lain, negara hanya sibuk menjadi pelayan para kapital, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudahlah lapangan pekerjaan yang minim, jika pun ada maka penghasilan yang didapatkan sering tak cukup. Bagaimana bisa mencukupi jika harga sembako terus naik, rumah tak terbeli hingga harus mengontrak, ditambah listrik, air, BBM, kesehatan yang juga tak murah.
Sebab semua sektor kehidupan sudah dikapitalisasi dan privatisasi maka lahirlah kemiskinan yang terstruktur dan sistematis. Judi online menjadi hiburan sekaligus harapan untuk bisa keluar dari kemiskinan.
Dengan demikian, alangkah gelap dan buntunya upaya pemberantasan judi online di sistem sekuler kapitalisme. Meskipun sudah jutaan akun judi online yang dibanned hingga ratusan rekening suspect bandar judi sudah diblokir. Diperparah dengan ringannya hukuman bagi bandar judi yaitu denda Rp1 miliar, padahal penghasilan bandar judi online bisa mencapai Rp2,2 triliun per bulan.