Antara yang Menikmati dan yang Mengutuk Demokrasi
Anis Matta, Pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Gelora, kini makin terkenal. Wakil Menteri Luar Negeri itu kini jadi perbincangan publik. Pidatonya yang berani di KTT Arab-Islam di Riyadh beberapa hari lalu mendapat sambutan hangat masyarakat Indonesia.
Dalam pertemuan puncak negara-negara Arab dan Islam itu, Anis meminta PBB mengeluarkan Israel sebagai anggota, meminta negara negara Islam untuk memutuskan hubungan diplomatik dan bisnis dengan Israel dan lain lain.
Anis memang terkenal jago pidato. Ia yang memulai karirnya sebagai Sekjen PKS, terkenal sebagai konseptor dan ahli ceramah. Ketika merasa nyaman di PKS, Anis menulis buku “Menikmati Demokrasi.” Bagi Anis, demokrasi adalah sarana untuk memperjuangkan nilai nilai yang diyakini benar.
PKS mengambil ittiba’ dari Ikhwanul Muslimin dalam memperjuangkan Islam. Ikhwan memang membolehkan anggota anggotanya untuk berjuang lewat parlemen. Dalilnya diantaranya adalah strategi dakwah yang diambil oleh Nabi Yusuf yang masuk pemerintahan dan akhirnya dapat mengubah pemerintahan itu menjadi adil dan makmur.
Kelompok yang menentang atau mengutuk demokrasi lain lagi dalilnya. Mereka memakai dalil bahwa selama hidup Rasulullah Saw tidak pernah berkompromi dengan kaum kafir di pemerintahan. Rasul berjuang di luar sistem dan kemudian kemudian mengubah sistem jahiliyah kaum kafir menjadi sistem Islam. Di antara kelompok yang menganut paham ini adalah Hizbut Tahrir.
Mereka tidak mau berjuang dengan tambal sulam atau islahiyah. Mereka maunya revolusi. Mengubah total sistem yang ada menjadi sistem Islam. Meski mereka menargetkan revolusi, tapi caranya adalah revolusi damai bukan dengan perang atau perebutan senjata.
Maka sampai sekarang Hizbut Tahrir di berbagai negara tidak ada yang membuat “partai” dan masuk parlemen. Menurut mereka demokrasi adalah haram dan bagian dari sistem kufur.
Menyatukan dua gerakan besar di dunia ini tidak mudah. Karena masing masing punya dalil dan berpegang teguh pada khittah gerakannya. Tapi yang perlu direnungkan sebenarnya adalah bagaimana menempatkan dalil itu pada fakta yang ada. Pada wilayah yang mereka tinggal disitu
Di sinilah kecerdikan ulama ulama Masyumi di tanah air ketika mereka menerima demokrasi. Para ulama ulama besar itu bukan tidak tahu kelemahan demokrasi, mereka tahu. Tapi dibanding sistem kerajaan dan sistem otoriter tang lain, sistem demokrasi lebih mendekati Islam. Karena disitu ada kebebasan berpendapat, transparansi kekayaan pejabat, pemilu, check and balances dan lain lain.
Maka jangan heran pada Kongres Umat Islam di Yogyakarta 7-8 November 1945 para ulama berbagai ormas Islam itu sepakat bulat membentuk partai Islam Masyumi dan berjuang lewat parlemen atau demokrasi.
Masyumi konsisten dengan demokrasi itu. Bahkan ketika Soekarno tahun 1959 ingin membawa demokrasi ke arah demokrasi terpimpin, Masyumi menolak keras. Hingga akhirnya ia dibubarkan pada 1960.
Meski menempuh jalan demokrasi atau pemilu, Masyumi tetap konsisten dengan Islam. Masyumi bertujuan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan warga, masyarakat dan negara kesatuan Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi.