SUARA PEMBACA

Jangan Biarkan ‘Mereka’ Tertawa

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim).

Kabar mengejutkan datang dari Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu. Entah apa yang melatarbelakangi namun salah satu rekomendasi yang dihasilkan justru menuai kontroversi. Disebutkan bahwa non muslim tak boleh lagi disebut kafir. Dari laman daring detiknews, Ketua Umum PBNU, Said Aqil mengatakan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata konstitusi. Karena itu yang ada adalah non muslim, bukan kafir.

Masih menurut Said Aqil, istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar. (1/3/2019).

Terhadap hal tersebut, publik dibuat terpana. Gelombang reaksi pun datang bagai dikomando. Mayoritas menampik putusan tersebut. Andai merujuk pada Ustaz Abdul Shomad, beliau menjelaskan bahwa kafir sudah sejak dulu ada dalam Al Quran. Khususnya dalam surah Al Kafiruun. Surah itu menjelaskan toleransi dengan kalimat yang sangat lugas dan indah, bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Sehingga jelas bahwa kata kafir minus tendensi selain mengacu pada orang yang menutup diri dari keimanan. Mustahil Allah zalim dengan sebutan tersebut. Bukankah baik yang kafir maupun mukmin sama diciptakan Allah Swt.?

Tak heran Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththath menyebut rekomendasi itu sebagai hoax.

“Justru yang menarik justru bahwa orang non-muslim tidak boleh dibilang kafir, itu hoax terbaru, hoax terbesar. Bahkan disebut dalam Alquran, siapa yang lebih zalim, nggak ada yang lebih zalim selain orang-orang yang membuat dusta atas nama Allah… ,” (detiknews, 2/3/2019).

Parahnya lagi karena penolakan sebutan kafir justru datang dari umat muslim sendiri. Terlebih dari mereka yang selama ini dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam. Bukankah enggan terhadapnya apalagi ingin mengganti dengan kata yang lain tak beda dengan meragukan Yang Maha Kuasa? Menantang apa yang telah menjadi kehendak-Nya?. Na’udzubillah.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button