Jahiliyah di Makkah dan Tanah Jawa, Samakah?
Seringkali kita salah menafsirkan kata ‘Jahiliyah’. Memang jahiliyah memiliki arti kebodohan, namun, bukan berarti kata bodoh ini merujuk pada tingkat intelektual suatu masyarakat.
Istilah jahiliyah sendiri digunakan untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang jauh dari nilai – nilai moral dan keagamaan sebelum datangnya cahaya Islam.
Di Makkah, periode jahiliyah ditandai dengan penyembahan berhala, praktik kesukuan yang ekstrim, ketidakadilan sosial, penindasan terhadap perempuan, dan sebagainya. Hingga akhirnya Rasulullah Muhammad Saw diutus untuk membawa perubahan besar dalam masyarakat melalui ajaran tauhid dan akhlak mulia.
Di sisi lain, tanah Jawa pada masa sebelum meluasnya ajaran Islam yang disebarkan oleh Walisongo, masih diwarnai oleh praktik-praktik animisme, sinkretisme, dan ketimpangan sosial, meskipun masyarakat Jawa telah mengenal ajaran Hindu dan Buddha.
Sebagaimana dikutip dari Luthviyah Romziana dalam jurnalnya, “Pandangan Al-Qur’an tentang Makna Jahiliyah Perspektif Semantik”, istilah jahiliyah di Al-Qur’an memiliki dimensi makna yang berlapis. Tidak hanya mengacu pada kebodohan atau ketiadaan ilmu, jahiliyah juga digunakan untuk menggambarkan kondisi keyakinan yang menyimpang serta perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai moral. (Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 4, No. 1, 2014, hlm. 136).
Di dalamnya, juga dijabarkan lebih lanjut terkait makna dari Jahiliyah. Di mana menurut al-Asfahani, kata Al Jahl memiliki tiga makna.
Pertama, yaitu ketidaktahuan atau ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (kosongnya Jiwa dari Ilmu). Ini merupakan makna dasar dari kata “jahil” sebagai lawan dari “ilmu” (pengetahuan).
Kedua, yaitu meyakini suatu al yang tidak layak untuk diyakini ada, atau kenyataan yang kosong. Maksudnya Al-Jahl ini juga bisa merujuk pada kondisi di mana seseorang meyakini sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. Dalam hal ini, orang tersebut memiliki pengetahuan yang salah.
Ketiga, melakukan tindakan atau perilaku yang tidak sesuai dengan adab atau aturan yang semestinya. Baik melakukan hal kebaikan yang menurut keyakinannya itu sendiri benar atau sudah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah. Contohnya orang yang melalaikan shalat karena disengaja atau tidak melaksanakan perintah allah karena disengaja pula.
Jadi Al-Jahl menurut Al-Asfahani tidak hanya mengacu pada kebodohan intelektual, tetapi juga mencakup ketidaksesuaian keyakinan dan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan akhlak.
Hal ini relevan dalam menggambarkan masa Jahiliyah sebelum masyarakat mengenal Islam, di mana ketiadaan ilmu, keyakinan yang menyimpang, dan perilaku yang tidak bermoral menjadi karakteristik masyarakat saat itu.