SUARA PEMBACA

Efisiensi Anggaran, Salah Kaprah atau Tepat Sasaran?

Upaya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengefisienkan anggaran masih menuai polemik. Efisiensi anggaran ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Dalam inpres ini Presiden Prabowo menginginkan adanya efisiensi anggaran mencapai Rp306,70 triliun. Dengan rincian sebesar Rp256,1 triliun untuk belanja operasional dan nonoperasional seluruh kementerian dan lembaga (K/L) dan sebesar Rp50,6 triliun untuk anggaran transfer ke daerah.

Tercatat ada 10 kementerian dan lembaga yang terkena pemangkasan anggaran antara lain Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kemendiktisaintek, Kemenkes, dan Kemenhub. Sementara itu, ada 17 kementerian dan lembaga yang tidak terkena pemangkasan anggaran antara lain Kemenhan, Polri, Badan Gizi Nasional, dan Kejagung. (Kompas.id, 11 Februari 2025).

Efisiensi anggaran ini diyakini oleh pemerintah menjadi langkah strategis untuk mengalokasikan dana untuk program-program prioritas yang lebih mendesak. Salah satu program prioritas yang menjadi perhatian pemerintah adalah program makan bergizi gratis (MBG) yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. Badan Gizi Nasional pun membenarkan bahwa anggaran MBG akan mendapatkan tambahan dana sebesar Rp100 triliun dari pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga. (Detik.com, 11 Februari 2025).

Ya, demi membiayai program-program populis pemerintah, mau tidak mau pemerintah harus mengatur ulang anggarannya. Sebab, pemasukan negara dari pajak tidak sesuai harapan. Padahal tidak dapat dimungkiri, pemangkasan anggaran yang tetiba ini jelas berdampak pada buruknya pengurusan pelayanan rakyat, serta melemahkan fungsi dan kekuatan negara.

Pemangkasan anggaran tanpa pertimbangan matang juga dapat mengakibatkan keterbatasan sumber daya yang berpengaruh pada kinerja ASN. Belum lagi dampak buruknya terhadap sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan. Padahal kedua sektor ini merupakan investasi terbesar bagi sumber daya manusia Indonesia pada masa mendatang. Alhasil, efisiensi anggaran sejatinya memunculkan masalah baru. Di sisi lain, kebijakan ini berpotensi memperlebar pintu masuk dana-dana asing atau swasta dalam melayani kepentingan rakyat.

Sejatinya, negara tidak akan kekurangan potensi pemasukan, melihat berlimpahnya kekayaan alam Indonesia. Hanya saja politik anggarannya rusak akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berpihak pada kepentinganp para pemilik modal.

Dalam kitab Nizam Al-Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani pada bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan bahwa ekonomi kapitalisme melegalkan kebebasan kepemilikan bagi individu. Akhirnya, sumber daya alam yang semestinya dikelola oleh negara, justru dikuasai oleh para pemilik modal. Sehingga pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya semestinya digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, justru berakhir ke kantong-kantong pribadi pemilik modal. Akhirnya, negara tidak memiliki sumber pemasukan anggaran yang kokoh.

Inilah bukti bawah dalam naungan sistem kapitalisme, negara hanya menjadi regulator kebijakan bagi para pemilik modal. Penguasa yang lahir pun bersikap populis otoritarian kepada rakyat untuk memoles wajah aslinya dengan segudang pencitraan agar tampak peduli kepada rakyat.

Hal ini jelas berbeda andai berada dalam naungan sistem Islam. Paradigma Islam memandang bawah negara merupakan raa’in (pengurus) bagi rakyat, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Saw, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Sebagai pengurus rakyat, maka menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Islam jelas memiliki sistem politik dan ekonomi yang khas untuk menjalankan fungsi negara sesuai yang ditetapkan oleh Allah SWT. Salah satu pilar dari politik Islam adalah kedaulatan berada di tangan syarak. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, mereka dituntut untuk mengendalikan seluruh aktivitasnya sejalan dengan perintah dan larangan-Nya. Konsep politik ini niscaya menjadikan negara tidak akan mengatur atau membuat kebijakan untuk rakyat, kecuali dengan aturan Allah SWT.

Adapun salah satu prinsip ekonomi Islam adalah sejatinya harta pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan berikanlah kepada mereka harta dari Allah yang telah diberikan kepada mereka.” (TQS An-Nur [24]: 33). Dengan demikian, sumber daya alam termasuk harta milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara secara mutlak dan hasilnya diberikan kepada rakyat. Hasilnya dapat didistribusikan secara langsung dalam bentuk subsidi ataupun secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis untuk pelayanan umum.

Dalam naungan sistem Islam, negara niscaya memiliki kekuatan dan kemandirian dalam membiayai semua kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, Islam juga mengatur pengelolaan anggaran sesuai koridor syarak, baik pendapatan maupun pengeluaran. Dalam hal ini Islam menetapkan pengelolaan anggaran dengan konsep Baitulmal.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button