Relasi Sosiologis, Mata Rantai Kehidupan dan Kampung Assegaf di Palembang

Kawasan Melayu yang strategis telah menjadi jalur perdagangan yang banyak disinggahi oleh para pedagang dari penjuru dunia, budaya berdagang yang dibawa oleh pedagang muslim ke Nusantara menjadi awal terbentuknya komunitas dan entitas muslim di Indonesia.
Masuk dan terbentuknya komunitas Islam di Nusantara, khususnya di Palembang tidak terlepas dari Sungai Musi. Sungai Musi sangat berperan sebagai jalur perdagangan sehingga menjadikan Palembang pusat perdagangan yang terkenal hingga mancanegara.
Masuknya Islam ke Palembang
Masuknya Islam ke Palembang banyak dijelaskan oleh para pakar. Menurut Naguib Al-Atas Islam sudah ada di Palembang pada abad ke-7 Masehi (Maryamah, 2023). Sedangkan sejarawan T.W. Arnold berpendapat bahwa Islam masuk Palembang kira-kira tahun 1440 M dibawa oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sebab kala itu Palembang termasuk daerah kekuasaan Majapahit yang menempatkan wakilnya, yakni Ario Damar.
Pada saat Ario Damar berkuasa, Raden Rahmat singgah selama dua bulan di Palembang. Adapun pendapat lain menyebutkan Islam masuk ke Palembang pada abad ke-16 (Rochmiatun). Meski banyak berbagai pendapat setidaknya pada masa Kerajaan Sriwijaya, Para pedagang yang keturunan Arab telah menjalin hubungan baik melalui perdagangan dengan Sumatera, khususnya Palembang.
Arab dan Islam merupakan dua hal yang berbeda, namun Islam bisa sampai ke Nusantara, salah satunya dibawa oleh orang-orang Arab. Orang-orang Arab di Indonesia berasal dari Mesir, Pantai Timur Afrika, dan didominasi dari Hadramaut. Orang-orang Arab Hadramaut yang datang ke Indonesia merupakan golongan Alawiyyin, yakni keturunan Nabi Muhammad Saw.
Relasi Sosiologis, Mata Rantai Kehidupan, dan Kampung Assegaf
Kedatangan orang-orang Arab di Palembang memberikan warna pada kehidupan multikultural. Bahkan mereka memiliki hubungan baik dengan masyarakat lokal maupun dengan Kesultanan Palembang. Setelah Pangeran Ario Kusumo Abdurrohim mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam Islam resmi sebagai agama negara. Pada periode awal Kesultanan Palembang, penduduk pendatang yang pertama kali diberi tempat tinggal didaratan sebelah ulu adalah orang-orang Arab yang banyak menjadi ulama atau penasehat sultan.
Dari awal berdirinya Kesultanan Palembang, ulama yang menjadi penasihat keagamaan berasal dari kalangan sayyid. Interaksi yang dibangun antara para sayyid ini setidaknya memiliki beberapa faktor di antaranya adalah silsilah dan perkawinan. Dimana sistem kekerabatan memungkinkan para sayyid untuk mendekati penguasa dan memberikan mereka “hadiah berharga dalam bentuk silsilah” melalui proses perkawinan (Syukri, 2016).
Sejak akhir abad ke-18, para sayyid mulai berhasil membangun komunitas kekerabatan lokal bersama komunitas lain seperti, Melayu, Bugis, dan Minangkabau. Sejak saat itu para sayyid tidak lagi mengindentifikasi diri mereka sebagai bangsa Arab. Mereka berhasil menjadi Melayu dan Bugis. Mereka berhasil menjadi bagian Nusantara yang sangat pluralis.
Adapun para putri dari Kesultanan Palembang di masa Sultan Mahmud Badaruddin II yang menikah dengan sayyid antara lain: Denayu Azimah menikah dengan Sayyid Umar bin Abdullah Assegaf. Dan Denayu Maliyah menikah dengan sayyid Gasim bin Ali Baraqbah. Sedangkan dari keluarga sayyid marga Bin Yahya, yakni sayyid Ibrahim bin Yahya menikah dengan Raden Ayu Aisyah binti Sultan Mahmud Badaruddin I. Jalinan pernikahan ini setidaknya telah membentuk ikatan sosiologis antara Kesultanan Palembang dengan para sayyid Hadrami melalui jalur pernikahan.
Selain itu, pada tahun 1821 Belanda telah menguasai Palembang. Sejak berkuasanya kolonial Belanda di Palembang. Pihak kolonial berusaha menghapus image kota kesultanan dengan pergantian sistem menjadi perkampungan yang dibagi menjadi dua wilayah, yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Wilayah-wilayah tersebut dibagi berdasarkan ras. Etnis Tionghoa diwilayah 7 Ulu 9, Ulu 10 disebut kampung kapiten. Ulu 1 sampai 6 ditempati oleh pendatang dari luar. Sedangkan Ulu 11 sampai 13 ditempati oleh keturunan Arab (Maryamah, 2023).
Kampung Arab di Palembang sendiri merupakan kampung Arab tertua yang dibentuk oleh peran Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Munawar. Bahkan salah satu cucu beliau Sayyid Ahmad bin Alwi menjadi kapiten Arab di Palembang. Sehingga kampung Arab ini dinamai Kampung Arab Al-Munawar.
Warga kampung Al-Munawar sendiri kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Tentu hal ini mengundang banyak kaum Hadrami yang datang dan bergabung didalamnya.