Mencari Solusi Tuntas Maraknya Pelecehan Seksual

Negeri yang dikenal mata dunia beradab kini krisis adab. Lantaran bukan satu, dua atau tiga terjadi kasus pelecehan seksual yang mengerutkan dada. Tapi kasus pelecehan seksual bak air bah. Menurut Komnas perempuan tahun 2024 lebih dari 15.000 kasus pelecehan seksual dilaporkan. Kasus yang belum dilaporkan dan tak terungkap lebih banyak lagi.
Tak hanya kuantitasnya yang banyak, bentuk dan jenis pelecehan seksual yang terjadi pun beragam. Ada pelecehan berupa pelecehan fisik (pemerkosaan, pencabulan, sentuhan yang tak diinginkan); pelecehan non fisik (komentar/gesture yang tak pantas, mengirimkan foto/video seksual); ekploitasi seksual (memanfaatkan seseorang untuk tujuan seksual baik dengan atau tanpa kekerasan), trafficking (perdagangan manusia) dan sebagainya.
Yang semakin miris, pelecehan seksual dilakukan oleh orang-orang yang ‘terhormat’. Mereka mempunyai gelar, jabatan tinggi, kekuasaan, berseragam, berdiri di atas mimbar dan di depan kelas.
Kapolres Ngada mencabuli tiga anak di bawah umur hingga mencoreng wajah institusi kepolisian. Aparat negara yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi sampah masyarakat. Dokter spesialis anastesi memperkosa anak pasien di rumah sakit daerah Bandung. Profesi yang seharusnya erat dengan rasa kemanusiaan, justru bertindak sebaliknya. Pelecehan dilakukan ketika korban masih dalam pengaruh obat bius. Sungguh tak berperikemanusiaan nian.
Di pesantren Jombang, pelecehan seksual dilakukan oleh kyai terhadap belasan santriwati. Pelaku pun dihukum tujuh tahun penjara. Guru besar UGM melecehkan belasan mahasiswanya dari tahun 2023 sampai 2024. Berbagai kasus ini tentu saja menunjukkan degradasi moral akut di masyarakat. Bahkan meningkat pada lembaga berbasis pendidikan dan keagamaan. Lantas siapa yang bisa dipercaya?
Paparan Seksual Sistematis di Ruang Publik
Mencermati kasus-kasus pelecehan seksual oleh orang-orang yang ‘terhormat’, memiliki benang merah yang sama. Yaitu kesamaan pelaku yang memiliki otoritas (kekuasaan atau kewenangan) dalam lembaga. Otoritas ini dipakai untuk melampiaskan nafsu bejat mereka. Tapi sistem seakan-akan tak punya imun dalam mendeteksi pelecehan seksual ini. Seakan-akan ada pembiaran, sehingga lost saja mereka dalam melakukan aksi bejat. Seakan-akan mereka bebas dan kebal hukum.
Pelecehan seksual muncul karena rangsangan seksual yang bertebaran baik di dunia nyata maupun maya. Paparan pornografi pornoaksi tak hanya menyasar orang dewasa tapi juga anak kecil. Nampak pada algoritma di platform media sosial yang menawarkan wanita-wanita seksi, aksi pornografi yang menjadi pemicu para laki-laki untuk melampiaskan hasrat birahi. Yang mengkhawatirkan media sosial hari ini sudah menjadi pegangan ‘wajib’ individu. Berselancar dalam media sosial tanpa ada batasan.
Tak ada filter yang menihilkan rangsangan seksual di ruang publik hari ini. Atas nama hiburan, trend, fashion atau gaya hidup lainnya rangsangan seksual dianggap lumrah. Benteng iman pun hari ini rapuh tergerus dengan arus sekulerisasi kehidupan. Lihatlah betapa Islam hari ini hanya dipandang sebagai agama personal antara hamba dengan Allah saja. Islam hanya dipandang mengatur ibadah ritual saja. Islam sebagai aturan kehidupan kaffah tak dipahami dan tak diberikan ruang dalam kehidupan.
Diperparah dengan kenyataan bahwa hukuman/sanksi bagi pelaku pelecehan seksual dalam sistem hari ini tak memberikan efek jera. Hanya sekadar sanksi berupa pembinaan, pencabutan gelar/jabatan atau penjara. Acap kali yang terjadi setelah pelaku diberi sanksi seperti demikian, pelaku mengulang kembali dengan sasaran korban yang lainnya.
Wajar akhirnya pelecehan seksual menjamur dalam sistem sekuler yang rusak dan merusak ini. Ya sistem sekuler yang memisahkan agama Islam dari kehidupan telah gagal menciptakan lingkungan yang aman dan beradab.
Kebutuhan Mendesak pada Sistem Islam
Ditengah kerusakan ini Islam memiliki solusi menyeluruh dan tuntas. Islam menempatkan kehormatan perempuan dalam posisi yang tinggi nan mulia. Sebagai anak yang harus terjaga fitrahnya. Sebagai istri yang mendampngi suami dalam mengatur dan mengurus rumah tangga. Sebagai ibu madrasatul ula bagi anak-anaknya. Perempuan dalam Islam bukan objek eksploitasi fisik dan materi karena hal tersebut merendahkan kehormatannya.
Islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Hukum asal kehidupan laki-laki dan perempuan adalah terpisah kecuali ada hajat syar’i yang membolehkan untuk berinteraksi. Sehingga antara laki-laki dan perempuan dilarang pacaran, berkhalwat dan ikhtilat. Larangan ini menutup diri perempuan dari perzinahan dan pelecehan seksual.