Peran yang Kadang Terlupakan

Orang tua seringkali menyampaikan pesan yang tampaknya sederhana. Namun waktu dan pengalaman hidup bisa mengubah pesan itu menjadi petunjuk jalan, yang tidak pernah habis untuk dimaknai. Salah satu pesan itu datang dari seorang bapak yang hebat.
“Jadilah sederhana. Sehingga ketika waktu memintamu naik motor, kamu oke; memintamu naik mobil, kamu juga oke; memintamu naik sepeda, kamu tidak apa-apa; bahkan kalau harus berjalan kaki, kamu tidak menjadikannya sebagai masalah.”
Pesan ini, pada mulanya, mungkin terdengar remeh, seperti nasihat soal kendaraan atau kemampuan menerima keadaan dalam segi perekonomian. Tetapi sebenarnya, pesan itu bicara tentang hal yang jauh lebih mendalam, yakni tentang sikap hidup, tentang kelapangan hati, dan tentang bagaimana seseorang memaknai sebuah peran.
Kesederhanaan, bukan hanya soal tampil bersahaja atau hidup hemat. Ia adalah bentuk ketahanan jiwa. Seseorang yang sederhana terbiasa tidak bergantung pada fasilitas. Ia bisa nyaman di segala situasi. Tidak menjadi rendah ketika serba terbatas, dan tidak pula menjadi jumawa saat diberi lebih.
Dalam Islam, kesederhanaan adalah bagian dari nilai zuhud, yakni tidak meletakkan kebahagiaan di tangan dunia. Bukan berarti menolak kemajuan atau kenyamanan, tetapi tidak menjadikannya syarat utama untuk merasa sempurna.
Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Hidup ini tidak statis. Fasilitas bisa hilang, peran bisa berganti, status bisa berubah. Tetapi orang yang hidup dengan prinsip kesederhanaan akan tetap bisa melangkah. Ia tidak membiarkan nilai dirinya ditentukan oleh kendaraan yang ditumpangi, rumah yang ditinggali, ataupun jabatan yang dititipi.
Pesan itu juga bicara soal peran. Seringkali kita merasa penting hanya saat berada di pusat. Tetapi hidup ini bukan cuma soal siapa yang paling terlihat. Peran-peran kecil, yang sepi dari sorotan, justru sering punya andil besar dalam menjaga arah. Menjadi pendengar, penopang, pengingat, bahkan pengalah, adalah bentuk keutuhan manusia yang sering luput untuk disadari.
Dalam sejarah Nabi Muhammad Saw., kita bisa melihat betapa pentingnya penghargaan terhadap peran. Saat membangun Masjid Quba, beliau ikut mengangkat batu. Saat dalam perjalanan, beliau ikut menyiapkan makanan. Rasulullah tidak menjadikan status sebagai penghalang untuk turun tangan. Beliau hadir, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pelayan bagi umatnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah pun mengangkat orang-orang yang rendah hati: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati …” (QS. Al-Furqan: 63).
Rendah hati bukan berarti minder. Tetapi memahami bahwa kita tidak selalu harus berada di garis depan untuk menjadi penting dan berarti. Seringkali, kekuatan sebenarnya justru lahir dari orang-orang yang tidak menginginkan panggung, tapi terus bekerja dalam diam.
Pesan dari Bapak ini, sesungguhnya mengajarkan satu hal penting, yakni bahwa hidup bukan soal apa yang kita pakai atau posisi mana kita berdiri, tetapi bagaimana kita hadir dalam setiap peran dengan perasaan yang cukup dalam hati.
Kalau hari ini kita harus naik sepeda, jalani dengan ringan. Kalau besok naik mobil, tetap rendah hati. Kalau harus berjalan kaki, tetaplah melangkah dengan kepala tegak. Karena nilai seseorang tidak terletak pada apa yang membawanya pergi, tetapi bagaimana ia membawa dirinya kembali (pulang).
Dalam dunia yang kerap menilai dari tampilan luar, pesan-pesan seperti ini adalah semacam oase. Ia menenangkan, menahan langkah yang ingin berlari tak sabar, dan mengingatkan bahwa tidak apa-apa untuk menjadi biasa.
Tidak apa-apa menjadi pelengkap. Tidak apa-apa kalau tidak terlihat. Asalkan hati tetap merasa cukup, langkah tetap lurus, dan peran tetap dijalani dengan sungguh-sungguh, itu sudah mampu menjadikan kita seorang hamba dan manusia. []
Husnul Khotimah, Staf LP3M STIS Husnul Khotimah Kuningan, Jawa Barat.