Perempuan dan Anak Butuh Perlindungan Siber Nyata dari Negara

Di tengah kemajuan dunia digital, ancaman terhadap perempuan dan anak kian meningkat. Media sosial bukan hanya tempat berbagi informasi, tapi juga menjadi ruang subur bagi kekerasan verbal, eksploitasi seksual, hingga penyebaran pemikiran yang berbahaya. Kelompok rentan ini menjadi korban dari ruang siber yang tak terkendali, dan sayangnya, negara belum mampu memberikan perlindungan nyata.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa media sosial kini menjadi salah satu sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, dalam konferensi pers (Tempo.co, 2024) menyatakan bahwa banyak konten di media sosial yang bersifat diskriminatif, penuh ujaran kebencian, hingga berujung pada kekerasan seksual daring (online sexual abuse).
Tak hanya itu, penggunaan gawai yang berlebihan di kalangan remaja juga mengkhawatirkan. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, menyebutkan bahwa penggunaan gawai tanpa kontrol berdampak buruk pada fokus belajar, kesehatan mental, serta menurunnya interaksi sosial dan spiritual (Antaranews, 2024).
Lebih dari itu, kehadiran konten negatif seperti pornografi, game kekerasan, hingga nilai yang jauh dari agama, menjadi bukti lemahnya kontrol negara terhadap ruang siber. Padahal, berdasarkan data Kominfo 2023, terdapat 1.147.128 konten pornografi yang ditemukan hanya dalam setahun. Sayangnya, upaya pemblokiran belum mampu mengimbangi kecepatan penyebaran konten ini.
Akar Masalah: Sistem Sekuler Kapitalistik
Sungguh, masalah ini bukan hanya karena kurangnya literasi digital, tetapi karena sistem sekuler yang memisahkan nilai agama dari kehidupan. Dalam sistem kapitalisme, teknologi berkembang demi profit, bukan demi kemaslahatan. Itulah sebabnya negara lebih mendorong digitalisasi ekonomi ketimbang membangun infrastruktur perlindungan moral dan spiritual.
Yang lebih mengkhawatirkan, infrastruktur digital Indonesia bergantung pada negara-negara maju yang mengendalikan algoritma, penyimpanan data, bahkan opini publik. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi pintu penjajahan gaya baru.
Solusi Nyata Hanya Ada dalam Sistem Islam
Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab besar sebagai pelindung rakyat. Negara harus hadir dalam memberi penjagaan perlindungan jiwa (Hifzh al-Nafs), perlindungan akal (Hifzh al-Aql), perlindungan kehormatan/moral (Hifzh al-Irdh), perlindungan keturunan/anak-anak (Hifzh al-Nasl).
Solusi Islam terhadap ancaman siber bagi perempuan dan anak setidaknya mencakup tiga aspek utama, yaitu:
- Pendidikan Berbasis Akidah
Negara wajib membangun sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islam sejak dini. Anak-anak dikenalkan pada akhlak, adab bermedia, dan literasi digital berbasis iman dalam keluarga, masyarakar maupun pendidikan formal oleh negara.
Tercatat bukti nyata pada masa peradaban Islam bahwa negara mempu memberikan pendidikan berbasis Aqidah yang menjadi pondasi tindak tanduk perilaku manusia. Adanya madrasah-madrasah pada masa Khilafah Abbasiyah mengkondisikan anak-anak belajar Al-Qur’an, adab, dan sains sekaligus, hingga terlahir ulama hebat seperti Al-Ghazali dan ilmuwan hebat.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kehormatan Perempuan dan keluarga dijaga dengan adanya kebijakan kepada para prajurit untuk tidak meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menjaga generasi dengan menutup tempat hiburan dan melarang puisi-puisi erotis yang merusak moral Masyarakat.
- Teknologi dalam Bingkai Syariat
Teknologi tidak perku ditolak, namun harus diarahkan untuk kemaslahatan. Negara Islam akan membangun infrastruktur digital mandiri, menyaring konten negatif, dan menjamin ruang siber yang sehat dan bersih dari pornografi, kekerasan, serta fitnah ideologi.
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang keji itu tersebar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat…” (QS. An-Nur: 19)
Tinta emas sejarah mencatat bahwa teknologi pada masa peradaba Islam diarahkan untuk kemaslahatan umat. Hingga melahirakan ilmuwan Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn al-Haytham yang tidak hanya mengembangkan teori sains, tapi juga mengikatkan teknologi dengan etika Islam. Di Baitul Hikmah (Baghdad), setiap ilmu disaring agar tidak bertentangan dengan akidah dan akhlak.
- Penegakan Hukum Tegas
Dalam Islam, pelaku kekerasan digital atau penyebar konten merusak akan dikenai sanksi yang tegas dan adil untuk memberikan efek jera serta menjaga keamanan publik yaitu dengan ta’zir yang ditentukan oleh qadhi. Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam As-Sulthaniyah” menyebutkan bahwa khalifah dapat menjatuhkan hukuman penjara, pengasingan, cambuk ringan, atau bahkan hukuman mati, tergantung tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa ta’zir dapat diberlakukan untuk orang yang menyebarkan fitnah, membuka aurat di depan umum, atau menyebar konten keji, bahkan meskipun tidak sampai zina.
Penegakan hudud bagi pelaku zina, qadzaf (tuduhan zina), hirabah (perampokan/teror) akan ditegakkan oleh negara sebagaimana tercantum dalam QS. An Nur ayat 2 dengan hukuman 100 kali dera. Pelaku pelecehan atau fitnah zina juga dikenai hukuman cambuk 80 kali jika tidak mampu menghadirkan empat saksi (QS An-Nur: 4).
Tercatat pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang pria terbukti memperkosa seorang budak wanita. Umar langsung menjatuhkan sanksi rajam karena itu merupakan bentuk zina paksa (tanpa pernikahan dan dengan unsur kekerasan).[]
Muthi’ah, Praktisi Pendidikan di Malang.