Stok Beras Melimpah, Mengapa Rakyat Tetap Susah?

Pemerintah optimis swasembada beras dapat tercapai tahun ini. Sebab, stok beras nasional tercatat cukup tinggi. Sayangnya, stok beras surplus tidak diimbangi dengan harga beras yang murah. Harga beras masih saja tinggi di sejumlah daerah di Indonesia. Menurut data BPS, harga beras di 214 kabupaten/kota sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).
Guna menekan tingginya harga beras di sejumlah daerah, pemerintah aktif melakukan intervensi untuk menstabilkan harga beras. Instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah adalah penyaluran beras Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dan bantuan beras 10 kg kepada keluarga penerima manfaat.
Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhan, menyebutkan bahwa hampir 400 ribu ton beras SPHP telah disalurkan ke seluruh Indonesia melalui pengecer di pasar, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes), ritel modern, hingga Rumah Pangan Kita (RPK) Bulog (antaranews.com, 14 September 2025).
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk menstabilkan harga beras, nyatanya harga beras masih mahal. Berdasarkan Panel Harga Bapanas pada pukul 08.00 WIB, harga beras premium di tingkat konsumen secara nasional tercatat seharga Rp15.619 per kilogram (kg) atau lebih tinggi 4,83% dari HET nasional sebesar Rp14.900/kg. Sementara harga beras medium sedikit di atas HET Nasional Rp13.500/kg, yakni berada di harga Rp13.534/kg. Beras SPHP terpantau di harga Rp12.420/kg atau lebih rendah dari HET Nasional senilai Rp12.500/kg (bisnis.com, 15 September 2025).
Di sisi lain, penyaluran beras SPHP menimbulkan masalah baru. Konsumen mengeluhkan kualitas beras SPHP yang dinilai memiliki aroma dan tekstur yang kurang baik (CNNIndonesia.com, 9 September 2025). Sementara itu, pihak Ombudsman menyoroti “obesitas” stok beras Bulog. Stok beras yang menumpuk terlalu lama dan kelambatan distribusi berisiko menurunkan mutu (tempo.co, 8 September 2025).
Lebih buruk lagi, bantuan pangan beras gratis terancam hilang pada 2026 karena keterbatasan anggaran, karena sebagian dana dialihkan untuk memperbesar program SPHP (Kompas.com, 7 September 2025). Artinya, rakyat miskin tidak lagi mendapatkan beras gratis seperti sebelumnya, tetapi diarahkan untuk membeli beras SPHP yang mutunya masih dipertanyakan.
Sengkarut masalah beras menunjukkan problematika sistemik dalam tata kelola pangan nasional. Jika ditelaah, dari hulu hingga hilir, rantai distribusi beras yang sangat panjang hanya dikuasai oleh segelintir pelaku usaha. Struktur pasar yang oligopolistis ini berpotensi memberikan ruang bagi pedagang besar untuk mengendalikan harga, sedangkan petani dan konsumen berada di posisi paling lemah. Ya, fakta di lapangan kerap terjadi jika harga pangan di tingkat petani rendah, tetapi saat sampai di tangan masyarakat justru melonjak tinggi.
Guna menstabilkan harga pangan, pemerintah kerap melakukan intervensi terbatas seperti beras SPHP atau program bantuan pangan. Namun, langkah tersebut hanya bersifat tambal sulam, tidak mampu menuntaskan persoalan yang ada. Alhasil, selama sengkarut masalah pangan tidak menyentuh akar persoalan, yakni distribusi pangan yang buruk, pasar yang oligopolistis, dan pengawasan yang lemah maka harga beras akan tetap tinggi, meskipun stok melimpah.
Di sinilah letak kesalahan paradigma kapitalisme. Peran negara hanya sebagai regulator, bukan sebagai pengurus dan penjamin kebutuhan rakyat. Negara hanya memastikan stok beras aman, tetapi membiarkan harga di pasar ditentukan dan dikuasai oleh kartel pangan. Akibatnya, rakyat miskin makin susah. Sebab, mereka diarahkan untuk membeli beras murah dengan kualitas rendah, sedangkan beras dengan kualitas baik susah dijangkau.
Fakta membuktikan bahwa kapitalisme telah menempatkan pangan sebagai komoditas semata, bukan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara. Selama paradigma ini tidak diubah, swasembada pangan hanya sebatas angka stok di gudang, tanpa benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Kegagalan tata kelola pangan niscaya tidak akan ditemukan dalam naungan sistem Islam. Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam pengelolaan pangan. Sebab, paradigma Islam menempatkan negara sebagai pengurus dan penjamin kebutuhan rakyat, bukan sekadar regulator pasar.
Dalam pandangan Islam, pemimpin atau imam adalah raa’in yang bertanggung jawab penuh memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi, termasuk pangan. Maka menjadi kewajiban negara menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan sampai ke tangan konsumen. Artinya, negara tidak hanya memastikan stok pangan aman, tetapi juga memastikan bahwa beras berkualitas dapat diakses oleh seluruh rakyat dengan harga yang adil.