Ada Bencana, Malah Ngajak Berdebat
Tepat dini hari di pergantian tahun, Jawa dan Kalimantan darurat bencana. Khususnya Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Banten dan Kalimantan Selatan. Tidak saja mengakibatkan korban harta, tapi juga korban nyawa. Kabar sementara ada 53 orang meninggal.
Seperti biasa, setiap ada bencana, apapun bencana itu, lembaga-lembaga sosial langsung bergerak. Sebut saja Baznas, Dompet Dhuafa, ACT, bahkan juga organisasi mahasiswa. FPI juga bergerak. Kok ikut-ikutan? Bukannya izin FPI tak diperpanjang? Soal bencana, tak perlu pakai izin bro!
Kemana partai politik? PKS hadir. PDIP biasanya juga hadir. Dua partai ini cepat dan tanggap jika ada bencana. PSI? Mungkin anda belum melihatnya. Atau anda tak mengenali kader PSI yang turun ke area banjir. Saking ikhlasnya, tak mudah diidentifikasi.
Di tengah lembaga-lembaga itu sibuk menolong korban banjir, muncul pejabat yang menyoal naturalisasi. Menyinggung juga soal normalisasi. Sambil salah-salahin gubernur DKI. Ngajak diskusi dan debat soal dua istilah itu.
Anda pejabat atau penjilat? Waduh, jadi kasar banget. Tapi memang harus diingatkan. Sebab, seringkali orang lupa kewajibannya, karena sibuk cari kesalahan orang lain. Kalau ini dilakukan orang awam, itu biasa. Medsos memang menjadi tempat rakyat kecil biasa berdebat. Debat apa aja. Seringkali tak ada ujung dan maknanya. Karena gak pakai mikir.
Kalau pejabat? Mesti ada otaknya, walaupun sedikit. Biar beda antara pejabat dengan rakyat. Kalau gak ada otaknya? Ini jadi serius.
Kalau orang nanya: tiga belas sungai di Jakarta itu otoritas dan tanggungjawab siapa? Nah, nampar muka sendiri bukan?
Anda ingin tahu konsep naturalisasi dan normalisasi? Untuk apa? Ini waktu yang tidak tepat untuk berdiskusi dan berdebat tentang dua istilah itu. Soal adu teori dan argumentasi, itu nanti. Setelah semua korban banjir dievakuasi dan logistik di tenda-tenda penampungan disiapkan secara pasti.
Sekarang saatnya pertama, bantu korban. Atasi mereka yang terdampak bencana. Kedua, siaga satu jika nanti ada banjir susulan. Apakah itu karena curah hujan yang berlebihan, atau air kiriman. Ini konteksnya DKI. Untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan Kalimantan Selatan, tak kalah parahnya. Bahkan sebagian lebih parah. Tetap siaga.
Buzzer-buzzer, untuk sementara berhentilah atraksi. Ini bukan saat yang tepat untuk berpolemik, apalagi berpolitik. Ini bencana, bukan panggung triatikal. Jangan berdansa di atas mayat-mayat yang bergelimpangan. Jangan menyanyi saat banyak korban menderita. Jangan cari uang di atas kubur para korban.
Para korban tidak butuh teori dan segala bentuk diskusi, apalagi caci maki. Para korban gak nanya ini salah siapa? Gubernur, bupati, walikota, menteri atau presiden? Atau salah rumput yang bergoyang? Tidak penting bagi mereka. Mereka hanya butuh dievakuasi dan bantuan logistik. Para gubernur, bupati dan walikota dibantu oleh lembaga-lembaga sosial dan masyarakat sedang bekerja. Bantulah mereka, atau diam. Perdebatanmu dan cacianmu hanya membuat kubur para korban bergetar. Berhentilah sebelum mulut para korban itu melaknatmu.
Jakarta, 5/1/2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa