OPINI

Ada Kampanye Militer dan “Thucydides’s Trap” di Petamburan?

Konvoi sejumlah kendaraan taktis (rantis) milik Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI melintas di Jl KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat (Jakpus) viral. Empat kendaraan yang terlihat di antaranya kendaraan taktis ‘Maung’, dua truk hitam, satu mobil patroli, dan satu motor Polisi Militer yang mengawal rombongan.

Suara sirene dari kendaraan TNI itu ‘meraung-raung’ di sepanjang Petamburan. Apakah sedang terjadi kampanye militer di sekitar Petamburan, ataukah tempat itu sekarang menjadi Mandala Operasi? Siapa yang menjadi Panglima Komando Operasi Petamburan? dan apakah ini akan menjadi semacam “Thucydides’s Trap”?

Graham Allison dalam “Destined for War” (2017) menyebutkan “Thucydides’s Trap” terjadi jika ada kekuatan baru muncul dan dianggap bisa mengancam kekuatan yang ada (ruling power). Menurutnya hal itu pasti mengakibatkan benturan dan kekerasan dari kekuatan yang terganggu hegemoninya, walaupun tidak selalu.

Dalam konteks ini Allison memang sedang membahas persaingan kekuatan antara Amerika dan China. Petamburan memang bukan teater pertempuran baru persaingan antara Amerika dan China. Tapi tempat tersebut kini diwartakan media seolah-olah menjadi pusat perang urat syaraf antara Koopssus dan Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI). Belum lagi pencabutan baliho Habib Rizieq Syihab (HRS) di berbagai jalan di Ibukota oleh oknum TNI yang diperintahkan langsung oleh Pangdam Jaya.

HRS yang muncul sebagai kekuatan baru di percaturan politik Indonesia mengubah peta politik kekuasaan. Lemahnya posisi oposisi parlemen di perkuat lewat kritik-kritik yang tajam di luar parlemen. Apalagi HRS dalam ceramah pada awal kedatangannya ke tanah air secara tegas menyatakan akan melakukan Revolusi Akhlak.

”Bicara tentang revolusi akhlak berarti bicara suatu revolusi yang mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad Saw, bicara revolusi akhlak berarti bicara revolusi yang berdiri tegak di atas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi kita Sayyidina Muhammad Saw,” kata Habib Rizieq di Markaz FPI, Petamburan, Jakarta, Sabtu (14/11/2020). Diakui atau tidak, wibawa pemerintah kini meredup dan mereka terperangkap dan mengidap ”Thucydides’s Trap”, maunya ngajak perang siapapun yang berbeda.

Apakah FPI sekarang dianggap sebagai ancaman nirmiliter, sehingga dimasukan ke dalam Operasi Militer selain perang (OMSP)? Padahal Pasal 7 ayat (3) UU 34/2004 menyebutkan bahwa OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Rakyat tentu paham bahwa mencopot baliho HRS dan menggerakan pasukan Koopssus ke Petamburan itu bukan OMSP. Rakyat juga paham, yang bisa menggerakkan TNI pada situasi OMSP adalah Presiden.

Jika kita merujuk pada UU, apa yang dilakukan TNI, mereka bergerak harus atas dasar keputusan politik negara. Secara longgar rakyat bisa mengartikulasikan bahwa kebijakan politik negara saat ini memerintahkan TNI untuk melakukan OMSP berupa pencopotan spanduk dan pengerahan pasukan ke petamburan. Tafsir ini menjadi pemaknaan yang mudah sekali ditelaah oleh rakyat, Itu artinya tindakan Koopssus dan Pangdam Jaya melibatkan Presiden sebagai pemegang kebijakan politik negara. Jika ini benar kita rakyat Indonesia menyayangkan hal tersebut.

Selama ini TNI sudah cukup baik mengisi peran OMSP khususnya dalam membantu penanganan bencana alam dan masuk ke dalam konfigurasi pemberantasan terorisme. Kepercayaan masyarakat kini kembali terusik atas langkah aksi-aksi yang diambil oleh oknum TNI dari Koopssus dan Pangdam Jaya. Mereka mempertontonkan pembangkangan terhadap aturan dan tupoksinya sebagai alat negara dalam menangkal ancaman yang sifatnya strategis.

Pembangkanan terhadap aturan tugas pokok dan fungsi TNI ini menjadi preseden buruk. TNI dalam hal ini Pangdam Jaya dianggap telah mengambil peran pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam melaksanakan penertiban baliho HRS. Selain itu, publik tahu Koopssus dibentuk dalam rangka “stand by force” penanggulangan terorisme dengan anggaran pengembangan organisasi senilai Rp1,5 Triliun dan telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI.

Ini bukan kronologis kampanye militer, bukan kegiatan perang apalagi ancaman perang hibrida, bukan. Walaupun yang kita lihat berbentuk rangkaian operasi yang saling berhubungan dan dilaksanakan dalam ruang dan waktu yang saling berdekatan.

Mudah-mudahan ini bukan rencana pendahuluan untuk tujuan pengakhiran mengriminalisasi FPI. Meskipun kita tahu, Koopssus ataupun Pangdam Jaya tidak mempunyai wewenang tersebut. Namun, jika ini benar-benar terjadi mungkin organisasi lain menunggu giliran dan bisa jadi proses Revolusi Akhlak bisa lebih cepat terjadi.

Jaka Setiawan
Direktur Kajian Stratejik dan Kebijakan Publik PUSHAMI

Artikel Terkait

Back to top button