Ada Kekosongan Hukum Soal LGBT? HNW: Mestinya Pemerintah dan DPR Segera Buat Aturannya
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritik narasi yang dipublikasikan bahwa di alam demokrasi Pemerintah tidak bisa melarang LGBT karena tidak adanya aturan hukum yang melarang atau memberikan sanksi terhadap LGBT.
Padahal Dedy Corbuzier yang memantik kontroversi soal LGBT ini, malah merespons positif kritik dan penolakan massif dari masyarakat dengan sudah mentake down tayangannya, dan mengaku salah dan meminta maaf.
Maka, kata Hidayat, bila benar ada kekosongan hukum yang diperlukan, sewajarnya sebagai negara hukum, maka pihak-pihak yang berkewenangan segera mengisinya dengan membuat aturan UU baik DPR maupun Pemerintah dengan melakukan inisiatif mengajukan usulan RUU untuk mengisi “kekosongan hukum” ini, bukan malah seolah-olah tak berdaya sehingga permissif dan membiarkan terus LGBT dengan kasusnya yang potensial berulang dan berlanjut, apalagi masyarakat luas sudah menolaknya, dan penyimpangannya LGBT jelas-jelas tidak sesuai dengan norma Pancasila dan UUDNRI 1945Pasal 1 ayat (2), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1).
Sekalipun demikian, lanjut Hidayat, kondisi “kekosongan hukum” yang diklaim dan bisa ditunggangi untuk pembuaran atau legalisasi LGBT dengan penyimpangan seksualnya, sudah dari dulu diantisipasi oleh FPKS DPR RI, sehingga dalam pembahasan RUU TPKS, FPKS DPR RI mengusulkan agar tindak pidana terkait seksual bukan hanya yg mengandung unsur “kekerasan” seksual, tapi juga kejahatan seksual seperti perselingkuhan dan perkawinan sejenis atau laku seks menyimpang di kalangan LGBT. Sayangnya sikap dan usulan antisipatif dan konstruktif FPKS tidak didukung oleh Fraksi-Fraksi yang lain, juga tidak didukung oleh Pemerintah, sehingga FPKS menolak pengundangan RUU tersebut.
“Dan inilah dampak langsungnya. Ketika terjadi kasus LGBT, Pemerintah dengan dalih demokrasi dengan entengnya menyebut tidak ada aturan hukum yang melarang. Padahal mestinya, kata Hidayat, setelah munculnya kasus video tutorialnya Dedy Corbuzier yang sudah di-takedown sendiri, bahkan yang berssangkutan mengaku salah dan minta maaf, mestinya Pemerintah dan DPR segera menyadari memang ada masalah yang perlu diberikan solusi hukum dengan mengisi “kekosongan hukum” tersebut, baik dengan memperbaiki UU TPKS atau mengundangkan revisi UU KUHP atau membahas dan mengundangkan RUU Rancangan Undang-Undang Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual untuk diprioritaskan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, sebagai upaya membentengi masyarakat dan negara dari propaganda dan laku penyimpangan seksual seperti yang dilakukan kalangan LGBT tersebut,” ujar Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (12/5/2022).
HNW sapaan akrabnya mengatakan kebutuhan terhadap RUU tersebut sangat mendesak, apabila melihat banyaknya kasus serta reaksi masyarakat luas yang menolak Podcast Deddy Corbuzier dengan pasangan LGBT yang dinilai ‘mempromosikan’ dan ‘membuat tutorial’ menjadi gay atau perilaku seks menyimpang. “Ini mestinya segera direspon dengan baik dan penuh tanggungjawab oleh DPR maupun Pemerintah selaku lembaga yang berhak untuk mengusulkan dan bersama-sama membentuk undang-undang,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa kalau tidak mau memperbaiki UU TPKS sebagaimana diusulkan oleh FPKS, bisa juga dengan segera membahas dan mengundangkan RUU Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual yang telah berhasil diperjuangkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) long list 2020-2024.
“Bahkan, sebenarnya RUU ini sudah disuarakan oleh Ketua Fraksi PKS sejak 2016 lalu. Tinggal bagaimana fraksi2 lain di DPR dan Pemerintah berkomitmen untuk memprioritaskan membahas dan mengundangkan RUU ini,” tukasnya.
HNW menuturkan bahwa RUU Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual ini bukan hal yang baru, karena di Rusia sudah diberlakukan sebagai undang-undang. Salah satu sanksi yang diberikan adalah denda sebesar RUB 5.000 bagi warga yang menyebarkan informasi kepada anak di bawah umur yang mengarahkan untuk membentuk susunan seksual nontradisional atau yang dapat menyebabkan pemahaman bahwa hubungan homoseksual dan heteroseksual merupakan hal setara secara sosial.
Denda yang lebih besar sebesar RUB 200.000 bahkan dapat dikenakan apabila pelakunya adalah pejabat yang menyebarkan propaganda tersebut melalui internet. Bahkan di Aceh juga diberlakukan Qanun no 7 tahun 2014 psl 63 ayat 1 tentang Hukum Jinayat yang bisa mempidanakan perilaku seks menyimpang seperti yang dilakukan oleh kalangan gay tersebut.