SUARA PEMBACA

Agama bukan Sumber Konflik

Pendek kata, agama dipandang sebagai pemicu konflik antarsuku dan bangsa. Nilai Bhinneka Tunggal ika diyakini lebih cocok bagi Indonesia yang beragam.

Kalau kita menilik sejarah perlawanan terhadap penjajahan di Indonesia, tentunya akan didapat kesimpulan jujur bahwa akidah Islam menjadi sumber energi yang tiada habisnya. Teriakan takbir mampu menggelorakan semangat jihad melawan penjajahan Belanda, Portugis, dan Inggris. Adalah pengakuan jujur tatkala di dalam pembukaan UUD 1945 di alinea kedua disebutkan dengan redaksi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”

Ketika disodorkan demikian, mereka berkelit dengan mengemukakan bahwa betul hanya dengan Islam, umat ini bisa berjaya. Akan tetapi bukan Islam Timur Tengah, yang tepat adalah energi Islam Nusantara yang menjadikan negeri ini bebas dari belenggu penjajahan. Walhasil, berkah Islam Nusantara ini dilembagakan menjadi Islam Nusantara dengan terminologi yang direduksi dari ajaran – ajaran Islam yang dianggap mengandung kekerasan.

Sesungguhnya konflik dan berbagai tindak kekerasan dalam sejarah kehidupan manusia bukan disebabkan ketika umat Islam berpegang teguh dengan agamanya. Di jaman jahiliyah dulu, dunia Arab diliputi konflik dan perang saudara antar kabilah satu dengan yang lainnya. Perang al Basus yang terjadi antara Bani Bakr dengan Bani Taghlib, dikarenakan sentimen wibawa kabilah. Begitu pula terjadi perang Buats antara Suku Aus dan Khazraj. Padahal keduanya masih dalam satu garis keturunan.

Ketika Islam datang, sentimen sektarian primordialisme dihapuskan, digantikan dengan landasan akidah Islamiyyah. Dengan tegas Rasulullah Saw menyatakan: “Bukanlah termasuk golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ashobiyyah, dan bukanlah golongan kami, siapa saja yang berperang atas dasar ashobiyyah.”

Ashobiyyah bermakna saling tolong menolong di dalam kezaliman dan berbuat dosa.

Bukankah membiarkan asing dan aseng dengan seenaknya mengeksploitasi kekayaan Indonesia ini, termasuk tindakan ashobiyyah? Pemerintah yang membuka kran membanjirnya tenaga kerja asing khususnya China di tengah angka pengangguran dan kemiskinan rakyat sendiri, bukankah ini adalah tindakan ashobiyyah? Bukankah segenap upaya yang menghalangi kembalinya syariat Islam untuk mengatur negara termasuk tindakan ashobiyyah?. Tindakan ashobiyyah, sesungguhnya yang berpotensi untuk memecah belah bangsa dan menimbulkan konflik.

Bukankah Islam mempunyai solusi yang mampu menyelesaikan masalah ekonomi seperti kesenjangan ekonomi, eksploitasi asing atas kekayaan Indonesia dan lainnya? Bukankah Islam yang menyatukan bangsa Arab Jahiliyyah hingga berubah menjadi bangsa terkemuka yang membawa ajaran keselamatan dari Allah SWT?.

Bukankah Islam yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj hingga Madinah mencapai kemajuannya? Bukankah Islam yang mampu menuntaskan persoalan kejahatan dengan sangsi uqubat yang tegas dan tidak pandang bulu?.

Lantas mengapa upaya penerapan Islam secara kaaffah justru dipersekusi?. Padahal Islamlah yang menebarkan rahmat di muka bumi.

Ainul Mizan
Guru, tinggal di Malang, Jatim

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button