Agama untuk Orang-Orang Jahiliyah?
Iya benar, tidak salah baca. Awal mula diturunkan, ajaran Islam ini diperuntukkan bagi orang-orang jahil di Arab. Jahil itu kita pahami sama dengan jahat, bodoh, kelakuan rusak, dan semisalnya. Tapi kerennya, justru ajaran Islam yang sempurna, lurus, dan paripurna itulah yang mengangkat derajat kobodohan, kejahatan, kerusakan, dan lain-lain itu menjadi kemuliaan, kecerdasan, keindahan, kesejahteraan, dan seterusnya.
Bayangkan saja sosok Umar bin Khattab yang kuat dan kokoh, ternyata sering menangis dan tertawa sendiri bila mengingat kelakuannya di masa jahiliyah. Satu di antara kebodohannya, Umar pernah membuat sendiri Tuhannya. Iya, Tuhan. Seperti kebanyakan orang-orang jahiliyah Arab lakukan, Tuhan yang dia sembah dibikin dari manisan kurma kemudian dibawa ke mana-mana.
Tuhan berbentuk panganan itu dibawa berjalan ke tengah padang pasir. Saat lelah, haus, dan lapar menghampiri, mau tak mau Umar membuka bekalnya. Sebelum menikmati bekal, mungkin begini reka permohonannya, “Tuhan, maafkan aku.. aku kelelahan, haus, dan lapar. Jadi maaf kau ku makan.”
Jahil atau bodoh, tidak ada bedanya. Tuhan buatan itu tidak dapat melindungi diri dari gigitan Umar, hamba atau orang yang telah menciptanya dari potongan-potongan kurma. Lain waktu Umar bin Khattab menangis tersedu. Kesedihan menyeruak di dada saat mengingat putri kecilnya. Masa itu anak perempuan merupakan sebuah aib bagi bangsa Arab, termasuk Umar bin Khattab.
Demi supaya anaknya tidak dibuang atau dibunuh oleh suaminya tersebab malu, istri Umar selalu menutupi dan menyembunyikan jenis kelamin bayinya sejak lahir. Dikatakannya pada Umar dengan berbohong, bahwa anak tersebut seorang laki-laki. Ditutupi kemaluannya setiap kali sang anak mandi atau buang air. Dipakaikan pula baju layaknya lelaki.
Hingga suatu saat Umar bersama sang anak melakukan perjalanan. Tiba-tiba gadis kecil berpenampilan lelaki itu meminta ditemani buang air kecil. Umar sempat terheran mengapa anaknya berlaku tidak seperti umumnya pria saat buang hajat. Dan terkejutlah ia bukan kepalang, mendapati kenyataan bahwa anaknya seorang perempuan. Malu, kesal, marah, campur aduk menjadi satu.
Umar bin Khattab kemudian mengajak anaknya menggali pasir. Dengan polos anaknya bertanya,
Anak: “Ayah sedang menggali pasir, untuk apa?”
Umar: “Ayah menggali untuk tempatmu bermain.”
Anak: “Waah.. Ayah, aku ingin segera bermain di lubang galian itu,” jawab anak riang.
Umar: “Ya, masuklah… Bermainlah di sana.”
Tak lama Umar melempari lubang itu dengan pasir dari luar. Tidak peduli suara anaknya yang memanggil dan bertanya berulang kali, meminta permainan lempar pasir itu dihentikan. Nyatanya permainan baru dihentikan saat lubang sudah tertutup rapat, mengubur anaknya.
Jahil atau jahat, sama saja. Saat telah menjadi Muslim, begitu tersiksanya Umar mengingat jerit tangis pilu sang putri kala itu.
Masih dengan kisah Umar bin Khattab, kuharap kalian masih semangat meneruskan membaca. Saat mendengar kehadiran Muhammad sebagai Rasul banyak membuat konflik dan perpecahan di tengah masyarakat Makkah, Umar bermaksud menghentikan dakwah Rasulullah Saw.
Konflik dan perpecahan itu sebenarnya hal yang alamiah. Bagaimana saat Rasulullah Saw berhasil mengajak sebagian penduduk Makkah masuk Islam dan beriman kepada Allah, telah membuat orang-orang yang berislam itu mau tidak mau terpecah dan terpisah dari keluarga yang tidak menerima keislamannya.
Hingga pada suatu titik, Umar dan masyarakat kafir Makkah bersepakat membunuh Muhammad. Umar pun mengajukan diri sebagai algojonya. Saat itu Muhammad menjadi orang nomor satu yang paling dibenci dan paling ingin dibunuh Umar.