Agar Hukum tak Menghamba Kekuasaan
Lagi-lagi, masyarakat khususnya umat Islam dipertontonkan ketidakadilan dengan mata telanjang. Beberapa waktu lalu ketua BTP Mania, Immanuel Ebenezer, telah menyinggung dan menyakiti hati umat Islam secara terbuka dengan mengatakan bahwa kelompok 212 adalah ‘wisatawan penghamba uang’.
Namun, anehnya bukannya meminta maaf atas ujaran kebencian dan keresahan yang ditimbulkannya, Imanuel balik melaporkan pihak yang melaporkannya. Eka Gumilar, politisi Gerindra yang melaporkannya pun heran karena sudah empat hari sejak pelaporan belum ada pemanggilan terhadap dirinya untuk dimintai keterangan sebagai pelapor. Imanuel sendiri dalam penjelasan yang ia berikan setelah kejadian tersebut berdalih bahwa Monas adalah tempat wisata, bukan tempat ibadah. Sehingga ia merasa tak bersalah menyebut peserta acara 212 adalah wisatawan. Ia pun merasa tak bersalah dengan menyebut kata ‘penghamba uang’. Justru ia balik menyalahkan orang-orang yang menginterpretasikan pernyataannya tersebut.
Apapun alasannya, sebutan untuk umat Islam yang hadir pada agenda 212 sebagai wisatawan penghamba uang adalah tudingan yang menyakitkan. Bagaimana tidak, niat tulus umat Islam yang hadir dalam Aksi Bela Islam dan Aksi Bela Tauhid adalah hanya untuk membela agamanya, menunjukkan ukhuwah umat untuk menjunjung tinggi agamanya dan simbol-simbolnya yang dilecehkan, serta menunjukkan kesadaran politik umat. Dan pada faktanya justru umat Islam hadir pada 212 dengan mengorbankan seluruh harta benda dan jiwa mereka, tanpa bayaran sepersen pun. Hal yang tak mampu dilihat oleh mata tapa iman. Jutaan umat hadir tanpa bayaran dan iming-iming apapun. Dan sungguh setiap jengkal tanah di bumi Allah adalah tempat yang layak untuk bersujud kecuali pada tempat-tempat yang memang diharamkan. Maka monas sekalipun adalah tempat yang bisa dijadikan umat Islam untuk berkumpul dan mendirikan sholat bersama, bahkan mengekspresikan kesadaraan politiknya. Undang-undang juga telah menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat.
Berbagai fakta yang terjadi sungguh menunjukkan secara gamblang bahwa hukum saat ini telah menghamba pada kekuasaan. Hukum begitu tajam kepada rakyat yang dianggap sebagai lawan politik dan membahayakan eksistensi penguasa. Namun begitu tumpul kepada orang-oarang yang dekat dan berkawan dengan lingkaran kekuasaan. Sebut saja sejumlah laporan atas Viktor Laiskodat, Guntur Romli, Ade Armando, Abu Janda, dll tak ada satupun yang ditindaklanjuti bahkan menguap entah kemana. Imanuel ebenezer menambah daftar panjang bukti tumpulnya hukum dan karetnya pasal-pasal untuk menjerat penista agama dan pelaku ujaran kebencian. Narasi-narasi toleransi, pancasilais, cinta kebhinekaan pada faktanya hanyalah narasi bohong yang tidak pernah mereka tunjukkan secara nyata.
Kita tentu ingat saat hukum begitu cepat menindak Buni Yani hanya karena mengunggah bukti nyata ujaran kebencian dan penistaan oleh Ahok. Namun umat perlu melakukan aksi berjilid-jilid hingga harus turun jutaan orang untuk meminta keadilan agar Ahok penista agama segera diproses hukum. Setelah itu, banyak ulama, asatidz, aktivis Islam bahkan ormas Islam yang menjadi tumbal ketidakadilan hukum karena lantangnya mereka bersuara atas kezhaliman penguasa. Sebut saja Habib Riziq Shihab, Ustadz Alfian Tanjung, Ustadz Al khaththath, Munarman, hingga Ahmad Dhani dan yang terbaru Ustadz Slamet Ma’arif.
Penguasa lantas berdalih tidak pernah melakukan ketidakadilan hukum dan meminta jika ada kasus lemahnya penegakan hukum untuk dilaporkan. Sayang umat kini sudah muak dengan bualan pemimpin zhalim dan ingkar janji. Apakah laporan-laporan umat terhadap orang-orang penista agama akan diproses atau tidak? Apakah nasib Imanuel Ebenezer akan berujung pada vonis hukum untuk mempertanggungjawabkan kebencian mendalam yang terucap dari mulutnya, ataukah ia tetap bisa melenggang bebas?
Penguasa boleh pongah dengan kekuatannya mengendalikan hukum untuk membungkam kesadaran politik dan jeritan umat atas kezhaliman mereka. Namun ingatlah bahwa Allah adalah pemilik kekuasaan hakiki. Siapapun yang sesumbar menebarkan kezhaliman maka Allah akan tumbangkan pelaku kezhaliman itu. Karena Ia Maha Mendengar doa-doa orang yang terzhalimi.
Sungguh kita merindukan keadilan benar-benar tegak di muka bumi. Allah SWT Yang Maha Adil sesugguhnya telah memeberikan seperangkat aturan dan sistem kehidupan yang benar-benar mampu mewujudkan keadilan tanpa pandang bulu. Sistem Islam telah menggariskan bahwa penguasa harus berdiri dengan pondasi ketaqwaannya. Bahwa ketakutan tertinggi dalam melaksanakan amanah melayani urusan umat adalah ketakutan kepada Allah saja. Ia senantiasa merasa diawasi Allah. Ia bertindak dan berucap dengan landasan syariat saja. Bukanlah penguasa yang takut jika kekuasaannya hilang, bahkan takut terhadap para kapitalis pemilik modal yang mengusungnya. Bukan pula hukum yang lahir dari terbatasnya akal manusia. Karena jika demikian hukum akan mudah ditafsirkan sesuai dengan kehendak penguasa atau pembuatnya. Pasal karet, multitafsir, sebagaimana UU ITE yang telah memakan banyak korban ketidakadilan adalah bukti nyata.