Agar Selalu ‘On’ Ingat Allah
Pertama, selalu tafakur tanda-tanda kekuasaan Allah. Kondisi ini sebagaimana firman Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS Ali Imran ayat 190-191).
Dimanapun diri mengarahkan pandangan akan nampak tanda-tanda kekuasaan Allah dalam setiap ciptaanNya, baik makhluk mati maupun hidup. Dengan tafakur ini akan menjadikan keimanan diri semakin kokoh.
Kedua, mengikatkan diri pada syariat Allah dalam berpikir dan berbuat. Kondisi ini terjadi karena tumbuh kesadaran hubungan diri dengan Allah. Konsekuensi imannya, dibuktikan dengan amal-amal shalih. Yaitu mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Hal ini berlaku dalam semua aspek, baik ibadah ritual (shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya), hubungan sesama manusia (muamalah dan uqubat) maupun adab terhadap diri sendiri (pengaturan makanan, minumam, pakaian dan sebagainya).
Ketiga, husnudzhan (berbaik sangka) dengan takdir Allah. Kondisi ini terjadi karena keyakinannya bahwa Allah Maha Mengetahui takdir terbaik untuk hambaNya. Diri hanya bisa berencana. Tapi Allah lah yang menentukan segalanya. Boleh jadi rencana yang dipandang baik oleh diri, tapi menurut Allah buruk untuk diri. Sebaliknya boleh jadi rencana yang dipandang buruk oleh diri, tapi menurut Allah baik untuk diri.
Segala di langit dan bumi milik Allah. Sedangkan yang melekat pada diri di dunia hanyalah titipanNya. Dan suatu saat akan diminta kembali oleh-Nya. Sehingga Allah meminta diri untuk bersabar, tawakal dan selalu mensyukuri apa yang telah diberikan, sedikit atau banyak. Allah berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim ayat 7)
Dengan pemahaman seperti ini, standar kebahagiaan diri adala ridha Allah. Susah senang akan dinikmati, asalkan Allah ridha. Karena apapun amal yang dilakukan, sekecil apaupun, selama tidak melanggar hukum syara’ dan diniatkan karena Allah, keniscayaan akan mendatangkan pahala di sisiNya. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Ismawati)