Agus Salim, Diplomat Terbaik Indonesia
Anak muda itu ingin sekali pergi ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma 150 gulden Belanda/bulan. Jika dikehendaki, rasanya mau dia bekerja sebagai kelasi kapal, asal saja boleh ia berlayar ke negeri Belanda.
“…Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulden. Bila tidak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.
…Banyak sekali yang dapat dilakukan oleh Salim sebagai dokter untuk rakyatnya. Dan sesungguhnyalah, adalah idaman Salim untuk bekerja bagi rakyat kita.
…Salim sendiri tidak tahu apa-apa : ia tidak tahu eksistensi kami malah. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dengan sepenuh hati ingin ia menyelesaikan pelajarannya, agar kemudian dapat bekerja untuk rakyatnya. Dan ia juga sadar bahwa itu suatu idaman mustahil, karena ia tak mempunyai dana.” (Lihat buku Agus Salim, Pesan-Pesan Islam, Mizan, 2011).
Menurut Syafii Maarif, surat itu ditulis Kartini setengah abad sebelum Salim memberi kuliah tentang Islam selama enam bulan di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Usia Salim ketika itu sudah mencapai 69 tahun. Salim lahir 8 Oktober 1884 dan wafat pada 4 November 1954.
Kuliah di Cornell University berlangsung antara Januari sampai dengan Juni 1959. Ada 31 topik perkuliahan yang diberikan, diawali kuliah tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, diakhiri dengan pembahasan periode Nabi Muhammadi di Madinah (622-632M).
Selama hidupnya, karena ketekunannya Salim berhasil menguasai banyak bahasa asing, diantaranya: Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Karena kepintarannya, Salim akhirnya diangkat menjadi penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi.
Di Saudi, terutama di Mekkah, ia mendalami ilmu agama dengan pamannya Syekh Ahmad Khatib, yang saat itu juga menjadi imam di Masjidil Haram.
Salim pernah kerja di birokrasi pemerintah Belanda, tapi beberapa saat kemudian ia keluar. Ia juga pernah kembali ke kampungnya mendirikan sekolah di sana, selama lebih kurang tiga tahun. Tapi ia tidak betah di kampung dan akhirnya kembali ke kota di Jawa.
Oleh komisaris besar polisi pemerintahan Belanda, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam (SI) dan Tjokroaminoto. Bukannya menyelidiki, malah ia akhirnya berteman akrab dengan Tjokro dan bergabung ke SI.
Setelah itu Salim terjun ke dunia jurnalistik (1915). Di Harian Neratja ia menjabat sebagai redaktur. Ia kemudian berpindah dan menjadi pemimpin redaksi di harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga pernah mendirikan surat kabar Fadjar Asia.