Agus Salim, Diplomat Terbaik Indonesia
Jalan ke Tanah Tinggi dari Asrama Stovia di Gang Kwini memakan waktu kurang lebih 10 menit dengan sepeda. Sampai stasiun Senen jalannya sudah diaspal, seterusnya masih tanah dan banyak berlobang. Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak. Hari itu tidak hujan, sampai di rumah Haji A Salim kami melihat ia duduk di serambi.
Kami disambut dengan sikap ramah yang sangat menarik. Sesudah bersalaman ia mulai bicara yang ditujukan kepada Kasman, ”Hari ini Anda datang secara biasa. Kemarin peranan sepeda dan manusia terbalik.” Penulis tahu kemaren Kasman sudah datang sendiri. Kasman yang melihat bahwa Soeparno dan penulis tidak mengerti apa yang dikatakan Haji A Salim menjelaskan,”Kemarin saya datang dengan ditunggangi sepeda, tidak saya yang menunggang sepeda.”
Tanah di Jakarta tanah liat terutama di beberapa bagian. Kalau setengah basah tanah melekat di roda sepeda, sehingga sepeda tidak dapat berputar sama sekali. Kemaren Kasman di tengah jalan dikerjar hujan dan mengalami nasib yang Haji A Salim ceritakan. Kasman menyambung,”Dan kemarin saya katakan: jalan pemimpin bukan jalan yang mudah.
Memimpin adalah menderita.” Kami bercakap-cakap dengan bahasa Belanda bahasa kami sehari-hari. Di Asrama Stovia kami hidup bersama dengan pelajar-pelajar dari seluruh daerah Hindia Belanda. Bahasa daerah dipakai juga kalau kita kebetulan dalam lingkungan orang dari satu suku bangsa.
Yang dikatakan oleh Kasman tadi mempunyai arti seni sastra, kalau dikatakan dalam Bahasa Belanda. Dalam Bahasa Belanda ada dua perkataan yang bunyinya sama, tapi ditulis berbeda, yaitu leiden artinya memimpin dan lijden artinya menderita. Waktu itu Kasman berkata, ”Eeen Leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.” Kasman waktu itu sudah menunjukkan bakat seorang pemimpin. Ia suka mengatakan kalimat-kalimat bersayap. Dan ia mengatakan dengan suara yang agak lain dengan tekanan lebih tegas. Di kemudian hari, akan terbukti bahwa yang Kasman katakan itu, mengandung ramalan tentang diri sendiri. Dalam hidupnya ia sudah empat kali dimasukkan penjara oleh yang berkuasa, sekali oleh rejim Belanda, tiga kali di bawah rezim Soekarno. Dua kali ia dibebaskan oleh pengadilan dan dua kali dihukum. Soalnya bukan karena kejahatan, tapi karena yang ia katakana. Kasman memang seorang yang senang dan pandai bicara. “Score” nya masih lumayan: 2 lawan 2. Memang penderitaan yang dialami oleh seorang pemimpin terutama di waktu penjajahan Belanda adalah dimasukkan penjara. Tapi itu tidak berarti bahwa pemimpin tidak hidup berbahagia, bahagia dalam keluarga, bahagia hidup bercita-cita.” (Lihat Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, Bulan Bintang, 1983).
Roem, mantan Wakil Perdana Menteri RI ini sangat kagum dengan Haji Agus Salim. Ia katakan, ”Semua yang mengenai Haji Salim menarik perhatian penulis, karena lain dari yang lain. Rumahnya rumah kampung, dengan meja kursi sangat sederhana, lain dari yang penulis duga dari orang yang sudah terkenal. Pakaiannya pun lain dari yang biasa dipakai orang…Haji A Salim memakai pakaian menurut model sendiri. Kesan pertama bukan piyama dan bukan pakaian untuk pergi ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama tapi modelnya lebih dekat piyama. Potongan bajunya seperti kemeja, tapi dipakai di luar celana dan tidak pakai jas lagi. Pakaian Haji Salim mendekati pakaian yang kita pakai di tahun-tahun pertama di Yogya. Yang paling menarik ia memakai tarbus warna merah dengan kucir hitam. Tarbus ini umumnya dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Tarbus itu dipakai sampai saat umat Islam di Hindia Belanda di tahun tiga puluhan mengadakan aksi boikot barang-barang Italia, karena kekejaman-kekejaman yang dijalankan bangsa Italia terhadap orang Islam di Tripoli. Tarbus adalah “made in Italy.” Pada demonstrasi itu juga ada seorang pemilik mobil Fiat membakar mobilnya. Sejak itu Haji A Salim menciptakan kopiah model sendiri, dibuat dari kain hijau (kain serdadu), yang ia namakan pici model OK.”
Roem bila datang ke rumah Haji Salim senantiasa mendapat pelajaran-pelajaran baru dan petunjuk-petunjuk. “Tentang ini di kemudian hari hampir semua orang akan mengatakan bercakap-cakap dengan Haji A Salim berarti mendengarkan pembicaraan yang brilyan,” terang Roem yang mengikuti jejak diplomat Salim.