SUARA PEMBACA

Akibat Monopoli Perusahaan Integrator, Peternak Ayam Makin Tekor

Dalam Islam , parktik monopoli menjadi haram karena dapat merusak harga pasar. Islam memandang pasar merupakan tempat dimana penentu harga akan terbentuk, bukan ditangan perusahaan besar. Sebagaimana dalam QS. An-Nisa 29, “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantaramu…”

Hanya dalam penerapan sistem Islam, peternak bermodal kecil akan dilindungi. Rakyat akan sejahtera karena diurusi pemimpin yang Amanah dan di terapkan sistem paripurna milik Sang Pencipta alam semesta.

Dalam kitab “Syakhsiyah Umar wa Aruhu”, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi menyatakan bahwa Khalifah Umar melakukan pengawasan ketat terhadap orang-orang yang bertransaksi di pasar agar tetap sesuai syariat. Salain memantau sendiri dengan berkeliling, Ia juga menugaskan Abdullah bin Atabah, Saib bin Yazid dan lainnya di pasar Madinah.

Khalifah Umar melarang praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum muslim. Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah, “Bagaimana cara Anda menjual barang, Hathib?” Ia menjawab, “Dengan utang.” Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu, halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami. Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian. Juallah satu sha’ (1 sha’ = 2.172 gram). Bila tidak, janganlah Anda berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sehendak kalian!”( Qal’aji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththab, hlm. 28.)

Khalifah Umar tidak hanya membatasi praktik monopoli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan hewan, tetapi bersifat umum terhadap setiap barang yang mendatangkan madarat bagi orang-orang bila barang itu tidak ada di pasaran. Imam Malik merawikan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.” (Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththab, hlm. 29.). Wallahu a’lam bish-shawab.

Muthiah Raihana S.TP, M.P., Pengajar di Ar-Razi Boarding School.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button