Al Ghazali Memang Seorang Imam
Adapun tentang Hadits dirayah, perhatian al Ghazali terhadapnya bisa dilihat dalam kitab al Mankhul min Ta’liqat al Ushul dan al Mustashfa min Ilm al Ushul. Kitab al Mankhul termasuk karya awal al Ghazali. Ditulis ketika al Ghazali berusia sekitar 15-28 tahun dan gurunya, Imam al Haramyn masih hidup. Sedangkan al Mushtashfa ditulis pasca penulisan Ihya’, ketika al Ghazali berusia antara 49-52 tahun. Kitab ini kemudian diringkas oleh Ibnu Rusyd dengan judul al Dharuri fi Ushul al Fiqh atau biasa disebut Mukhtashar al Mushtashfa.
Di dalam al Mankhul, al Ghazali menulis kitab al Akhbar setebal lima puluh dua (52) halaman yang membahas tema-tema ilmu Hadits. Mulai dari masalah khabar mutawatir, khabar ahad, al jarh wa al ta’dil, syarat-syarat seorang syekh, qari’, al Hadits, al Mustashfa al Ghazali membahasnya secara lebih luas setebal sembilan puluh (90) halaman.
Usaha al Ghazali yang dituangkan di dalam dua kitab tadi, menunjukkan perhatiannya dalam ilmu Hadits dirayah yang sangat tinggi. Jauh sebelum al Ghazali menjadi seorang hujjatul Islam sampai selesai menulis karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin. (Lihat halaman 36-37).
Berdasarkan kajiannya yang mendalam terhadap masalah Hadits, Dr Ardiansyah berkesimpulan bahwa para ulama Hadits kadang tidak satu kata dalam menilai Hadits. Dalam Hadits ‘Mencari ilmu itu wajib atas tiap Muslim’, al Iraqi dan al Zabidi menilainya lemah (dhaif), sedangkan al Muzani menilainya hasan dan al Suyuthi menilainya shahih li ghairihi.
Hadits lain yang juga dinilai lemah adalah tentang anjuran menuntut ilmu ke negeri China ‘Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China’ (Ihya’ Ulumiddin, Juz I halaman 18). Dalam takhrijnya al Iraqi menyatakan, “Hadits tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China dikeluarkan oleh Ibn Adi dan al Baihaqi dalam kitab al Madkhal dan Syuáb al Iman dari Hadits Anas. Dan al Baihaqi berkata, ”Redaksinya (matan) masyhur, sedangkan sanadnya lemah (dhaif).”
Penilaian al Zabidi terhadap Hadits ini sama dengan al Iraqi. Namun al Zabidi memberikan komentar yang penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan, ”Hadits ini, meskipun sanadnya lemah (dhaif) tapi maknanya shahih.” (halaman 46-47).
Harus diakui, bahwa di dalam Ihya’ memang ada sejumlah Hadits palsu sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Dalam sejumlah takhrijnya, al Iraqi juga sepakat dengan penilaian Ibn al Jawzi. Begitu juga al Zabidi dengan takhrij yang lebih luas. Hanya saja, berdasarkan penelitian al Iraqi dan al Zabidi, jumlah Hadits yang dinilai palsu atau tidak ada sanadnya tidak sebanyak yang dikatakan Ibn al Jawzi, al Thurtusyi dan juga al Subki. Bahkan al Zabidi sampai pada kesimpulan bahwa Hadits palsu di dalam Ihya’ hanya sedikit.
Takhrij al Iraqi juga menunjukkan hal itu. Beberapa Hadits yang dinilai tidak ditemukan sanadnya oleh al Subki, ternyata berhasil ditemukan sanadnya oleh al Iraqi. Setelah diteliti, Hadits yang tidak ditemukan sanadnya oleh al Iraqi tersisa sekitar tiga ratusan (300) jumlahnya. Sisanya yang enam ratusan (600) ditemukan sanadnya dengan kualitas yang berbeda-beda. Jadi, takhrij al Iraqi terhadap Hadits dalam kitab Ihya’ sebagai berikut : 93,86% Shahih, Hasan, Dhaif dan 6,14% tidak ditemukan sanadnya. (Lihat halaman 55-56).
Metode periwayatan dan penyampaian Hadits menurut ulama Hadits ada delapan macam. Pertama al Sama’, yaitu mendengarkan Hadits dari guru. Ini adalah metode tertinggi menurut mayoritas ulama Hadits.
Kedua, al Qiroah ala al Syaikh, yaitu membaca Hadits di hadapan guru. Ketiga, al Ijazah yaitu izin untuk meriwayatkan tanpa mendengar dan membaca di hadapan guru. Keempat, al Munawalah yaitu guru memberikan Hadits atau kitab Hadits untuk diriwayatkan. Kelima, al Mukatabah, yaitu guru menuliskan Hadits untuk muridnya sendiri. Keenam, I’lam al Syaikh, yaitu pemberitahuan dari guru kepada muridnya tentang Hadits yang diriwayatkannya.