Al Hajjaj yang Kejam
Perlawanan terhadap Bani Umayah ini terjadi ketika Muawiyah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya, Yazid. Husein bin Ali saat itu keluar memberontak kekhalifahan Yazid dan berakhir dengan terbunuhnya cucu Nabi tersebut di tangan pasukan Yazid di Karbala. Menurut Manshur Abdul Hakim. Husein, para sahabat dan keluarganya gugur karena mempertahankan sistem syura dalam pemerintahan Islam.
Adapun Abdullah bin Zubeir mengumumkan pemberontakannya kepada Yazid setelah syahidnya Husein. Ia menyebut dirinya khalifah umat Islam dan telah dibaiat dari berbagai wilayah. Yazid saat itu mengirimkan bala tentaranya untuk memerangi dan mengepung Ibnu Zubeir di Makkah, tapi gagal. Pengepungan ini berakhir dengan meninggalnya Yazid di Syam dan ini menyebabkan kekuasaan Ibnu Zubeir saat itu semakin besar.
Perlawanan Ibnu Zubeir berhenti di Makkah. Saat itu, Abdul Malik bin Marwan menugaskan kepada Hajjaj bin Yusuf untuk menundukkan Ibnu Zubeir.
Al Hajjaj berangkat bersama pasukannya pada bulan Jumadil Awal tahun 72H. Pasukan itu berjumlah 2000 dari penduduk Syam. Al Hajjaj menerapkan embargo ekonomi terhadap kota Makkah dan menghentikan aliran air dan suplai bahan makanan. Blokade ini memaksa banyak penduduk Makkah yang sebelumnya mendukung Ibnu Zubeir akhirnya melarikan diri dan bergabung dengan al Hajjaj. Al Hajjaj juga menggunakan manjaniq dalam peperangan itu. Di peperangan itu akhirnya Ibnu Zubeir syahid.
Al Hajjaj juga membunuh ulama yang terkenal saat itu, Said bin Jubair. Al Hajjaj menyembelih Said karena Said menentangnya. Said berdoa agar Allah tidak membiarkan al Hajjaj membunuh seorangpun setelah dirinya. Pembantaian ini terdengar oleh ulama besar Hasan al Bashri. Ia mengatakan, ”Ya Allah, wahai Dzat yang Maha Membinasakan orang-orang yang sewenang-wenang, hancurkanlah al Hallaj.” Al Hajjaj pun akhirnya tewas beberapa hari setelah ia membunuh Said bin Jubair.
Orang-orang bergembira mendengar kematian al Hajjaj, hingga Umar bin Abdul Aziz pun bersungkur di atas tanah untuk sujud syukur. Begitu juga dengan Hasan al Bashri dan Ibrahim an Nakha’i menangis, karena bahagia.
Al Hajjaj mempunyai empat istri. Yaitu, Hindun al Muhallab, Hindun binti Asma’ bin Kharijah, Ummul Julas binti Abdurrahman bin Usaid, dan Amatullah binti Abdurrahman bin Jarir.
Dari kisah al Hajjaj ini kita bisa memetik pelajaran bahwa di samping seorang Muslim diwajibkan mencari ilmu dan beribadah, ia juga diwajibkan untuk berakhlak mulia (beradab).
Kekuasaan adalah amanah. Kaum Muslim harus hati-hati dalam menjaga amanah ini. Agar tidak menimbulkan konflik di kalangan kaum Muslimin, maka penguasa dipilih lewat musyawarah, seperti yang dilakukan Khulafaur Rasyidin. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Anggota MIUMI, DDII dan MUI Depok.