Ali bin Abi Thalib: Pemimpin Pembawa Cinta
Suatu kali beberapa Yahudi mendatanginya ingin mengetes keilmuan yang dimilikinya. Ya Ali, mana yang lebih berharga harta atau ilmu? tanya mereka. Ali menjawab, ilmu lebih berharga. Ilmu kalau diberikan bertambah, harta kalau diberikan berkurang. Ilmu menjagamu, harta kamu harus menjaganya. Ilmu warisan para Nabi, ‘harta warisan Firaun, Hamman dan Qarun’. Ilmu memberimu cahaya, harta ‘sering memberimu kegelapan’. (Harta di tangan orang berilmu manfaat, harta di tangan orang bodoh mudharat).
Bagaimana akhlak Ali? Jalaluddin Rahmat mengutip Musthafa Bek Najib dari Universitas al Azhar Kairo, menyatakan, ”Apa yang harus dikatakan mengenai Imam ini? Amatlah sulit menjelaskan akhlak dan sifat-sifatnya. Cukuplah dikatakan bahwa nabi saw menyebut dia sebagai pintu ilmu dan hikmah. Dia orang yang paling berilmu, paling berani, dan paling fasih berbicara. Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, keikhlasan dan keteguhan imannya mencapai tingkat yang begitu tinggi, sehingga orang lain sukar menyamainya…”
“Kebijakannya adalah kebijakan yang diajarkan Tuhan. Karena kearifannya dan karena pengetahuannya tentang jiwa manusia. Ia hampir selalu mencapai kesimpulan yang benar dan tidak pernah membuang pendapatnya. Keputusannya adalah keputusan yang terbaik. Seandaianya dia tidak takut kepada Allah, dia akan menjadi diplomat Arab terbesar. Dia dicintai oleh ‘semua orang’. ‘Di hati setiap orang’ ada tempat untuk Ali. Dia orang yang memiliki akhlak yang begitu tinggi dan mulia serta sifat-sifat yang begitu piawai sehingga banyak orang terpelajar tersesat dan membayangkannya sebagai inkarnasi Tuhan. Sebagian orang Yahudi dan Nashara mencintainya. Para filosof yang telah mengenalnya tunduk dihadapan keluasan ilmunya. Raja-raja Romawi menggantungkan gambarnya di istana-istana mereka dan para prajurit agung mengukirkan namanya di pedang-pedang mereka.”
Siapa pengikut Ali? Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Islam Aktual memberikan uraian menarik, ”Banyak orang menyebut Syiah sebagai pengikut Ali. Apakah semua Syiah itu bermazhab Ali? Tidak. Orang Syiah yang merasa diri paling benar tetapi berakhlak rendah, yang memperbesar perbedaan pendapat tetapi lupa meningkatkan kualitas pribadinya, yang memuji-muji Ali tetapi tidak menirunya, bukanlah pengikut Ali. Orang Syiah yang eksklusif, memisahkan diri dari jamaah kaum Muslim, meremehkan Ahlu Sunnah, juga bukan pengikut Ali. Ahlu Sunnah menjadi pengikut Ali ketika ia berlomba-lomba melakukan kebaikan, menyucikan dirinya dari kemaksiyatan, menghindari kecaman terhadap golongan yang tidak paham dan sekali lagi, hanya mengukur ‘baik buruknya orang’ dari akhlaknya.”
Ketika terjadi Perang Khandaq, seorang kafir jago pedang terkenal, Amr bin Wud ingin memulai pertempuran dengan mengajak duel. Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya, “Siapa yang mau melawan Amr bin Wud?” Semuanya diam, kecuali Ali yang masih sangat muda. Ia berdiri dan berkata,”Saya ya Rasulullah.” “Tidak, jawab Rasul,” Aku cari orang yang lebih tua.” Lalu Rasulullah menawarkan lagi kepada para sahabat, tetapi tidak ada jawaban. Semua orang tahu siapa Amr bin Wud, jago pedang yang tak terkalahkan.
Amr mengancam dari kejauhan. ”Kalau kalian mati dalam peperangan, kalian akan masuk surga. Siapa yang bersedia aku antarkan dengan cepat untuk masuk surga?” Ancaman itu tidak ada yang menjawab kecuali Ali yang untuk kedua kalinya berdiri. Rasulullah kembali berkata,”Duduklah kamu sampai aku cari yang lebih tua lagi.” Ketika untuk ketiga kalinya masih tidak ada yang menjawab seruan itu, akhirnya Rasulullah mengirim Ali bin Abi Thalib. Kepadanya diberikan pedang Dzulfiqar.
Saat Ali bin Abi Thalib berangkat, Rasulullah menangis dan bersujud di medan perang. Beliau berkata, ”Ya Allah Engkau telah mengambil Abu Ubaidah, Engkau telah mengambil Hamzah dari diriku. Jangan kauambil Ali.”
Terjadilah duel itu. Suatu pertempuran yang amat dahsyat. Rasulullah saw menggambarkannya sebagai perang antara seluruh keislaman dan seluruh kekafiran. Mungkin yang dimaksud Rasul adalah sekiranya Ali ra kalah, maka kalahlah Islam secara keseluruhan. Atau barangkali yang beliau maksudkan ialah bahwa kepribadian Ali bin Abi Thalib mencerminkan seluruh keislaman dan kepribadian Amr bin Wud mencerminkan seluruh kekafiran. Singkat cerita, akhirnya Sayyidina Ali yang memenangkan pertempuran itu. Ketika ia kembali, Rasulullah saw menciuminya dengan berurai air mata.
Pendidikan dan pengalaman perjuangannya dalam menegakkan Islam yang matang itu, menyebabkan kalimat-kalimatnya ‘powerfull’. Salah satu yang terkenal adalah surat-surat yang dikirimkannya kepada Gubernur Mesir, Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan negara, akhlak yang harus dimiliki pemimpin dan lain-lain.
Menurut Prof A Korkut Ozal dari Turkii, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi, bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin melintasi ruang dan waktu. Tercatat ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance. Bahkan Edward Powcock (1604-1691), professor Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam Bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang diberikan nama Rhetoric.
Di antara nasihatnya adalah, ”Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya, juga dengan pandangan yang tajam. Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kamu bicara tentang mereka.”
Sayyidina Ali adalah pemimpin yang membawa mazhab cinta. Ia cinta persatuan. Meski pada masanya banyak terjadi peperangan, tapi sebenarnya ia lebih suka damai. Bila dalam peperangan, ada yang menyerukan bendera perdamaian, Ali bergegas mengajak ‘musuhnya’ untuk berdamai. Ia pernah menyelamatkan istri Rasulullah, Aisyah ra ke Madinah setelah terjadi peperangan.