Alih Fungsi Lahan Ancam Kedaulatan Pangan
Sehubungan dengan adanya rencana pembangunan Transit Oriented Development (TOD) kereta cepat Jakarta- Bandung, di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang khawatir jika keberadaan TOD akan memicu pengembangan pembangunan hingga menimbulkan alih fungsi lahan di sekitarnya. Sementara saat ini belum tahu berapa luas lahan pertanian yang nantinya akan digunakan untuk TOD (kompas.com). Masih menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat jika lahan pertanian dijadikan sebagai fasilitas umum. Belum lagi dampak setelah lahan pertanian diambil. Harus dipersiapkan usaha apa yang akan dilaksanakan ke depannya jika para petani sudah tidak menggarap sawah.
Ini adalah salah satu dari banyaknya pengalihan fungsi lahan untuk pembangunan fasilitas umum. Di kota, lahan dialihfungsikan untuk membangun perumahan, kawasan industri, hotel dan berbagai infrastruktur lainnya. Maka alih fungsi lahan sawah menjadi nonsawah ini menjadi salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan pangan, terutama beras.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) luas bahan baku sawah nasional 2018 hanya 7,10 juta hektar. Jumlah tersebut berkurang, lima tahun yang lalu tercatat 7,75 juta hektar. Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, mengatakan dalam 10-15 tahun terakhir seluas 900.000 hektar sawah menghilang (www.cnbcindonesia.com). Sementara untuk menjaga darurat sawah dan Kedaulatan pangan pemerintah membuat Perpres mengenai lahan baku sawah nasional. Efektifkah langkah pemerintah melalui Perpres sawah abadi ini?
Faktanya, laju alih fungsi lahan sangat massif. Lihat saja dalam kurun waktu 15 tahun banyak sawah yang hilang. Alih fungsi lahan yang terjadi saat ini pada dasarnya terjadi akibat dari politik pembangunan yang tidak jelas dan tidak terintegrasi. Sehingga kebijakan pembangunannya cenderung pragmatis.
Memang benar, setiap sektor pembangunan, sudah tentu membutuhkan lahan. Membangun pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas-fasilitas lainnya, sudah pasti membutuhkan lahan. Di sinilah pentingnya kebijakan politik pembangunan yang terarah, terpadu, dan konsisten.
Sering kali pembangunan di satu sektor harus mengorbankan sektor yang lain. Prinsipnya, yang dicari adalah keuntungan saat ini, tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjangnya. Seperti di wilayah Karawang, Bekasi, misalnya, dengan cepat beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, dan hotel. Sekarang sawah sudah menjelma menjadi bangunan-bangunan yang megah dan elite. Mungkin jangka pendeknya, memang jauh menguntungkan. Namun, dampak yang terjadi akan mengancam Kedaulatan pangan di negeri ini.
Inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai negara agraris, namun kemajuan sektor pertaniannya masih jauh dibanding negara-negara lain. Bahkan semakin mengalami kemerosotan dari segi ekonomi. Alih-alih mampu menjadi negara pengekspor hasil pertanian, karena banyaknya lahan pertanian. Yang terjadi sebaliknya, pasar di Indonesia justru dibanjiri dengan produk-produk pertanian dari luar negeri. Mayoritas rakyat yang berprofesi sebagai petani pun tidak tampak perbaikan nasibnya. Kondisinya bahkan sebaliknya, lahan petani semakin sempit akibat alih fungsi lahan tersebut.
Maka semakin jelas bahwa pengalihan fungsi lahan pertanian ini menimbulkan dampak yang serius. Terlebih pertanian merupakan sumber perekonomian negara. Dengan adanya alih fungsi lahan, otomatis lahan pertanian semakin berkurang. Menurunnya produksi pangan, sehingga stabilitas pangan nasional akan sulit tercapai. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan. Harga pangan pun semakin mahal. Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit didapatkan. Hal ini tentu saja dimanfaatkan sebaik mungkin bagi produsen ataupun pemilik modal untuk memperoleh keuntungan besar. Belum lagi kebutuhan pokok yang impor seperti beras, kedelai, singkong, hingga bawang. Hal ini sebagaimana yang sedang rakyat alami saat ini. Inilah bukti kegagalan penguasa dalam menangani masalah Kedaulatan pangan.
Berkaitan dengan hal ini Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi negara, di samping perindustrian, perdagangan, dan jasa. Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila bermasalah, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat negara lemah dan berada dalam ketergantungan dengan negara lain.
Maka agar hal tersebut tidak terjadi, dalam negara Islam pengelolaan pertanian dilakukan secara optimal, agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi. Yaitu dengan cara meningkatkan produksi pertanian. Negara mengupayakan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru bagi petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Selain itu mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati.
Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud).
Dengan demikian jelas bahwa ketersediaan kebutuhan pangan dijamin oleh negara. Oleh karenanya negara senantiasa memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta pelarangan terbengkalainya tanah. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian, agar stok kebutuhan pangan selalu tersedia untuk rakyatnya.
Inilah bentuk nyata dari sistem Islam. Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan Kedaulatan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Maka jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini salah satunya adalah akibat dari banyaknya pengalihan fungsi lahan, sehingga produksi pertanian berkurang bahkan sama sekali tidak menghasilkan. Belum ditambah dengan petani yang gagal panen. Tentu ini semakin mengurangi ketersediaan stok bahan pangan yang seharusnya bisa untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat.
Inilah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, lahan dipergunakan oleh para pemilik modal untuk pengembangan serta pembangunan infrastruktur tanpa adanya solusi jangka panjang yang digariskan oleh negara bagi Kedaulatan pangan.
Lalu masih enggankah untuk kembali pada solusi yang paripurna, yaitu sistem khilafah Islam yang akan mensejahterakan rakyat, yang telah memberikan solusi dengan sistem syariahnya, untuk mengatasi masalah krisis pangan sekaligus dapat memacu peningkatan produksi pertanian untuk mencapai kemandirian dan Kedaulatan pangan?. Sistem ini bukan saja telah teruji, tapi juga terberkahi dunia-akhirat. Maka apakah masih ragu meyakini, hanya dengan Daulah Khilafah Islamiyyah sajalah kesejahteraan rakyat akan terjamin?. Wallahu’alam bishowab.
Novia Listiani
Muslimah Peduli Umat, tinggal di Lampung