Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Era Modern: Menimbang Hukum Demonstrasi dalam Islam

Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Rasulullah Saw. bersabda:
مَن تَشبَّهَ بقَومٍ فهو منهم.
“Barangsiapa meniru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Oleh karena itu, kelompok ini berkesimpulan bahwa demonstrasi tidak memiliki legitimasi syar‘i dan sebaiknya digantikan dengan metode dakwah yang lebih sesuai dengan tuntunan agama.
Sejalan dengan itu ulama besar seperti Syekh Ibn Baz dan Syaikh Ibn ‘Utsaimin juga menolak demonstrasi. Mereka menilai bahwa demonstrasi acap kali membuka pintu kerusakan, kekacauan, pelanggaran terhadap harta dan jiwa, serta campur-aduk gender.
Syekh Ibn ‘Utsaimin menambahkan bahwa meskipun demonstrasi mungkin berhasil dalam konteks negara Barat, di negeri kaum Muslim justru lebih banyak menimbulkan mudarat dibanding manfaat. Walaupun demikian, fatwa tersebut memberi catatan bahwa jika demonstrasi dapat dijalankan secara tertib, terhindar dari pelanggaran syar‘i, serta menghadirkan maslahat nyata tanpa mudharat, maka ada ruang bagi kebolehannya.
Kedua, pandangan yang lebih moderat datang dari ulama seperti Dr. Ali Jum‘ah, mantan Mufti Mesir. Ia berpendapat bahwa hukum asal demonstrasi adalah boleh selama memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurutnya, demonstrasi dapat menjadi sarana yang sah untuk menyampaikan aspirasi atau menolak kezaliman, asalkan tujuan yang diusung benar, cara yang ditempuh tidak melanggar syariat, dan pelaksanaannya terhindar dari kekerasan, fitnah, atau kerusuhan.
Dalam kerangka ini, demonstrasi tidak dianggap sebagai bid‘ah agama, sebab termasuk dalam ranah mu‘āmalāt dan kebiasaan sosial yang hukum asalnya mubah. Bahkan, ia menegaskan bahwa aksi mogok (i‘tiṣām) memiliki kedudukan hukum yang sama dengan demonstrasi, yaitu sah selama dijalankan dalam koridor syar‘i.
Ketiga, pandangan yang lebih terbuka diwakili oleh Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Ia menegaskan bahwa demonstrasi pada dasarnya termasuk kategori ibāhah (boleh) karena merupakan bagian dari adat, bukan ibadah. Hukum demonstrasi bergantung pada tujuan dan cara pelaksanaannya.
Dengan prinsip ushul fikih al-wasā’il tu’khadhu bi-maqāṣidihā (hukum sarana mengikuti tujuan), demonstrasi yang ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan menolak kezaliman menjadi sah dan bahkan bisa bernilai wajib, selama tidak disertai unsur-unsur yang diharamkan.
Al-Qaradawi juga mengingatkan agar kaidah sadd adz-dzarā’i (menutup pintu keburukan) tidak digunakan secara berlebihan untuk menolak demonstrasi, sebab banyak contoh aksi damai yang justru membawa kemaslahatan umat. Dengan demikian, menurut al-Qaradawi, demonstrasi dapat menjadi salah satu bentuk amar ma‘ruf nahi munkar dalam konteks modern, selama diletakkan dalam bingkai nilai-nilai Islam.
Dalil yang digunakan oleh kelompok yang memperbolehkan aksi demonstrasi adalah:
QS. Āli ‘Imrān ayat 104, Al-Gāsyiyah ayat 19-20, dan hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan Abū Sa‘īd al-Khudrī Ra. seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Selain itu:
Firman Allah dalam Alquran Surah al-Nisā’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai sekalian orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatilah RasulNya serta para pemimpin (ulil amri) di antara kalian. Maka jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya, jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu lebih utama dan lebih baik akibatnya (untukmu).”