Anggaran Seret, Ledakan Covid-19 Akankah Mampet?
Artinya, segala kebutuhan rakyat atau warga negaranya wajib dipenuhi oleh seorang pemimpin negara tersebut. Disebutkan mengurusi maknanya adalah menghilangkan setiap kesulitan yang dihadapi warga negaranya ketika memenuhi kebutuhan pokok mereka juga sekunder dan tersier. Terlebih dalam kondisi darurat karena ada pandemi seperti saat ini.
Umar bin Khattab begitu mendengar beberapa wilayah dalam kekuasaannya mengalami serangan wabah, beliau tak segan segera memberi keputusan tegas yaitu memisahkan antara yang sakit dan sehat. Bagi yang sehat dibiarkan beraktifitas sebagaimana biasanya, sedang yang sakit benar-benar diisolasi dan dijaga, dengan menjamin seluruh kebutuhan hidup dan keluarga yang harus ia nafkahi jika ia kepala keluarga dipenuhi negara.
Bagaimana dengan negeri ini? Bukannya lockdown namun justru kembali putusan PPKM Mikro yang dipilih, dengan alasan tak mematikan perekonomian. Efektifkah? Jelas tidak, sebab negara berlepas tangan, dana bagi yang terdampak bisa jadi telah disediakan namun tak mencukupi, sedang bagi yang sehat bukan tak mendapati persoalan, mahalnya biaya hidup sudah harus dihadapi setiap harinya, di saat lapangan pekerjaan sulit, jikapun ada kembali dengan jalur yang banyak syarat sehingga tak banyak rakyat yang mampu memenuhinya.
Setiap kebijakan selalu kontradiktif, menteri kesehatan bicara soal berdiam di rumah , keluar hanya jika ada yang penting, sedang menteri pariwisata dan ekonomi kreatif mendorong rakyat untuk berwisata, bahkan mengundang wisatawan asing dengan mekanisme Travel Bubble.
Akar persoalannya adalah kapitalisme yang menjadi nafas pengelolaan urusan rakyat, jiwa untung rugi menjadi asas pemerintah kepada rakyatnya. Berkelindan mesra dengan sistem demokrasi yang makin mengokohkan bahwa buah pikir manusia lebih baik dari agama. Yang faktanya menghasilkan penguasa berorientasi kapitalis dan mencipta birokrasi kaku.
Maka, jangan salahkan jika rakyat tak lagi percaya terhadap semua kebijakan pemerintah, kezaliman demi kezaliman yang terjadi justru makin menghilangkan keadilan. Jarak antara penguasa dengan rakyat makin melebar, tersebab sistem yang tak tepat bahkan cacat. Secara logika akankah ini dilanjutkan? Berganti pemimpin pun tak akan mengubah keadaan sebab para pemimpin baru itu hanyalah pion yang bertugas melanjutkan strategi sebelumnya, yaitu kapitalisme.
Saatnya Kaum Muslim bergerak, bangga dengan agamanya yang sempurna dan bersumber langsung dari Allah SWT. Mengambil sistem Islam yang menjadikan manusia sebagai hamba Allah menjadi prioritas pelayanan dan pengurusannya. Wallahu a’lam bish showab.
Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban