NASIONAL

Anggota Komisi VIII DPR Tolak Usulan Biaya Haji Rp105 Juta Per Jemaah

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, yang juga anggota Komisi VIII DPR-RI yang bermitra dengan Kementerian Agama, kembali perjuangkan aspirasi Umat dengan mengkritisi dan menolak usulan Kementerian Agama soal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1445 H/2024 M sebesar Rp105 juta per Jamaah.

HNW sapaan akrabnya mengingatkan sekalipun biaya yang dibebankan kepada masing-masing calon jemaah sesuai usulan Kemenag adalah Rp 73,5 juta, tapi itu tetap lonjakan biaya ekstrem dari keseluruhan BIPIH, tahun 2023 sebesar Rp 90 jutaan, sekarang malah diusulkan oleh Kemenag naik menjadi Rp 105 jutaan untuk penyelenggaraan haji tahun 2024.

Menurutnya, itu tidak proporsional dan akan sangat memberatkan calon jamaah haji yang sudah menunggu antrian panjang. “Terbukti untuk pelaksanaan haji tahun 2023 dengan kenaikan tidak sebesar yang diusulkan sekarang saja banyak calon jemaah haji yang tadinya sudah memenuhi kategori “istitho’ah”, karena kenaikan itu, sekitar 15% calon jemaah haji, tidak dapat melunasi kekurangannya, sehingga gagal menunuaikan kewajiban berhaji,” ujar HNW melalui keterangan tertulisnya kepada Suara Islam, Kamis (16/11/2023).

Apalagi, lanjut HNW, bila tahun ini BIPIH dinaikkan lagi dengan besaran yang lebih tinggi lagi, sebagaimana usulan Kemenag. Maka wajar bila masyarakat calon haji khususnya dan tokoh Umat seperti KH Cholil Nafis, pimpinan MUI menolak usulan kenaikan BIPIH hingga Rp 105 jutaan itu.

“Usulan kenaikan biaya haji hingga mencapai Rp 105 jutaan per calon jemaah haji adalah suatu usulan berlebihan yang wajar bila ditolak dan dikritisi oleh Masyarakat bahkan oleh Pimpinan MUI. Dan usulan kenaikan biaya berhaji ini sudah saya kritisi dan tolak sejak awal raker kemenag dengan komisi VIII DPR-RI, Senin 13 November 2023,” kata HNW.

Menurut HNW, dengan makin banyaknya penolakan publik, diharapkan Panja Haji DPR-RI seperti tahun yang lalu, membela kemaslahatan Umat dan keuangan haji, karenanya perlu terus mengkritisinya atau menolaknya, dengan bisa kembali menurunkan BPIH saat membahas detailnya bersama Pemerintah.

Pada Raker Komisi VIII DPR-RI dengan Kementerian Agama (13/11), Menag memang membacakan usulan kenaikan angka BPIH menjadi Rp105.095.032, di mana Rp73.566.522,64 (70%) akan ditanggung oleh jamaah haji (bipih) dan sisanya dari nilai manfaat BPKH.

HNW yang merupakan Anggota Komisi VIII DPRRI, saat awal raker tersebut (13/11/2023) turut menyampaikan kritik dan saran secara langsung kepada Kementerian Agama. Ia menolak kenaikan sebesar Rp 103,5 juta, yang diusulkan Kemenag.

“Untuk itu agar Pemerintah melakukan evaluasi tuntas penyelenggaraan haji tahun 2023, dan ricek atas harga tiap komponen yang diusulkan. Harusnya Kemenag juga hadirkan “istitho’ah” atau kemampuan untuk bisa laksanakan kebijakan terkait haji termasuk penentuan biayanya, yang lebih baik dan proporsional dibandingkan dengan penyelenggaraan haji pada tahun yang lalu,” jelas HNW.

Misalnya soal harga tiket pesawat, di mana setiap calon jamaah haji dalam usulan Kemenag dikenai biaya pembelian 2x PP. Musim haji tahun ini tiket pesawat Jakarta sebesar RP 36.018.391, itu artinya setiap calon jemaah harus membayar tiket pesawat; 2x Pulang Pergi. Padahal mereka hanya mempergunakan tiket Jakarta Jeddah PP sekali saja, bukan 2 kali. Dan harga tiket pesawat Jakarta-Jeddah untuk satu kali PP adalah Rp 18 Jutaan.

“Maka seharusnya Pemerintah juga mempunyai “istithaah” dapat mengeluarkan regulasi yang adil dan profesional, agar penyedia layanan pesawat untuk calon haji dari Indonesia, hanya membebani/menagih biaya tiket 1x PP Jakarta Jeddah, karena memang hanya itu yang diberikan/dipakai oleh para Jamaah Haji, bukan yang lain,” jelasnya.

Jika pun untuk kenaikan BIPIH tidak bisa dihindari maka kenaikan itu biasanya diukur dengan terjadinya inflasi. “Nah sendainyapun ada kenaikan harga-harga secara internasional akibat dari inflasi tahun 2023, maka hendaknya kenaikan angka inflasi secara umum berkisar sekitar 3-4%, yang artinya BPIH harusnya hanya naik ke level Rp 92,7 juta. Jika beban bipih seperti tahun lalu yakni 55% dari BPIH, maka yang harus dibayar oleh calon Jemaah tidak sampai Rp 73,5 juta, tapi Rp 51 jutaan, turun Rp 22,5 jutaan dari yang diusulkan Pemerintah,” tutur HNW.

“Seharusnya memang “isthitha’ah” atau kesanggupan tidak hanya dituntut kepada calon jamaah haji, tapi juga kepada Pemerintah terkait kemampuan melakukan rasionalisasi dan efisiensi biaya, sehingga tidak terjadi usulan kenaikan BIPIH yang tidak masuk akal, dan merugikan jamaah haji yang sudah punya istithaah pada saat awal menyetorkan dana biaya hajinya” lanjutnya.

Selain itu, kata HNW, efisiensi biaya secara masif juga bisa dilakukan jika Pemerintah menetapkan kebijakan pemangkasan waktu tinggal jamaah haji di Arab Saudi, dari yang saat ini 40 hari menjadi 30 hari.

Menurutnya, opsi tersebut terbuka lebar mengingat terdapat 3 bandara di Saudi yang bisa dinegosiasikan untuk dapat digunakan oleh jamaah haji Indonesia, yakni lapangan terbang Thaif di selatan kota Mekah, lapangan terbang Yanbu’ yang terletak di antara Madinah dan Jeddah, dan Qashim, lapangan terbang Internasional di sebelah timur kota Madinah.

“Diperlukan loby yang berkelanjutan dan maksimal, bila perlu hingga ke tingkat antar kepala negara, untuk mendapatkan persetujuan dari pihak otoritas Saudi Arabia. Sehingga dengan banyaknya lapangan terbang internasional di Saudi yang bisa dipergunakan untuk keperluan kedatangan dan kepulangan jemaah haji, maka masa tinggal jemaah Haji Indonesia bisa dikurangi hingga menjadi 30 hari saja,” lanjut HNW.

Selain penurunan harga tiket dan pengurangan masa tinggal di Saudi, anggota DPR-RI Fraksi PKS ini juga mendorong Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk terus melakukan inovasi pengelolaan keuangan haji, sehingga nilai manfaat yang dihasilkan bisa melebihi prospek kenaikan biaya haji ke depan. Sehingga tidak terjadi kondisi penggerusan dana haji, melainkan justru bisa hadirkan lebih banyak lagi manfaat dari pengelolaan amanah keuangan haji.

“Beragam upaya tersebut harusnya dijalankan paralel, agar biaya haji bisa efisien dan sebagian besarnya bisa ditanggung oleh perolehan nilai manfaat yang optimal, sehingga jamaah yang telah menunggu antrean haji puluhan tahun tidak terpaksa membatalkan keberangkatan, tiba-tiba masuk kategori tidak berkemampuan (tidak istithoaah), sehingga batal tidak bisa kanjut berhaji, lantaran terkendala pelunasan tarif biaya baru yang naiknya tidak masuk akal dan hatinurani itu” ujar HNW.

Apalagi, lanjut HNW, pengalaman haji tahun lalu di mana BIPIH setelah ditolak Komisi 8 DPR, ternyata bisa turun dari usulan awal Pemerintah Rp 69.193.733,60 menjadi Rp 49.812.700, dan ternyata penyelenggaraan perjalanan haji tetap bisa terlaksana dengan baik. Kalaupun ada masalah di Saudi Arabia (khususnya saat di Armuzna) terkait konsumsi, akomodasi transportasi dan fasilitas di Mina, itu tidak terkait dengan turunnya BIPIH menjadi Rp 49,8 juta.

“Artinya tahun ini jika pun diusulkan bipih Rp 73,5 juta maka seharusnya bisa turun ke level Rp 53,5 jutaan, naik sedikit dari BIPIH tahun lalu sebesar Rp 49,8 juta. Bahkan jika patokannya inflasi, karena besaran inflasi pada angka 3-4%, maka seharusnya hanya naik ke level Rp 51 juta. Penting Panja Haji Komisi VIII DPR-RI kembali memperjuangkan maslahat Umat calon jemaah Haji dengan tetap bisa menghadirkan maksimalisasi usaha BPKH agar dana haji terus bisa dikembangkan hingga terus bisa memberikan maslahat bagi calon jemaah dan Umat untuk bisa melaksanakan rukun Islam yaitu berhaji. Dan agar tidak terjadi tingginya kenaikan biaya haji yang menghalangi calon jemaah yang tadinya sudah memenuhi syarat istitho’ah, tapi kemudian terhalang tidak bisa melanjutkan niat berangkat haji karena kenaikan BIPIH yang tidak wajar itu,” pungkasnya.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button