Anies-Cak Imin, Bertemunya Minyak dan Air?
Secara mengejutkan, Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhirnya berkoalisi. Nasdem dan PKB menjodohkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai Bacapres dan Bacawapres untuk Pilpres 2024.
Deklarasi dilakukan di tempat bersejarah, Hotel Yamato, Surabaya, pada Sabtu sore, 2 September lalu.
Segera, sesaat setelah mengagetkan dunia perpolitikan di Tanah Air, percakapan di grup-grup WhatsApp pun langsung memanas.
Secara umum, para aktivis kelompok Islam Modern menyambut gembira bergabungnya Cak Imin atau Gus Imin dalam Koalisi Perubahan. Semacam ada kelegaan. Kekhawatiran Anies akan kalah telak di Jatim-Jateng nampaknya terobati. Ruang kosong itu terpenuhi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan gembira mengucapkan “ahlan wa sahlan”.
Mereka juga senang, akhirnya kaum Islam modern ini akan bekerja sama dengan Islam Tradisional. Suatu kerja bareng yang secara turun temurun dinilai hanya “mitos” atau “khayal” terjadi. Ta’awun dalam dekapan ukhuwah Islamiyah.
Namun rupanya, hal sebaliknya terjadi di sebagian kalangan tradisional. Seorang teman berkirim pesan di grup WA: “Apa Aswaja bisa gathuk dengan Wahabi?” Ada teman lain yang berkirim pesan, “Konon ada sebagian orang PKB yang melontarkan usulan koalisi cukup Nasdem-PKB, tanpa PKS.”
Terhadap dua perkara ini, saya menjawabnya dengan singkat. Pertama, soal PKS yang distigma sebagai Wahabi, dan oleh karenanya diduga akan sulit bekerja sama. Saya bilang, mereka yang mengatakan PKS sebagai Wahabi itu menunjukkan ketidakpahaman. Dia tidak paham Wahabi, juga tidak paham PKS.
Wahabi anti partai, sementara PKS itu partai politik. Bila dikaitkan dengan kaum tradisional, pimpinan tertinggi PKS itu sekarang termasuk kaum tradisional. Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al Jufri, seorang habib, cucu Guru Tua Sayyid Idrus bin Salim Al Jufri pendiri Al Khairat, Sulawesi Tengah. Sedangkan Presiden PKS Ahmad Syaikhu adalah seorang santri lulusan Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Ayahnya juga seorang kiai.
Kedua, mereka mengharapkan koalisi hanya Nasdem-PKB saja. Saya jawab, koalisi ini mau menang atau kalah? Kalau politisi, bertarung untuk menang, maka berpikirnya adalah memperbanyak kawan, bukan menambah lawan. Ingat kata pepatah, seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Lagian, tidak semua wilayah di negeri ini sanggup di-cover oleh PKB dan Nasdem saja. PKB kuat di Jatim dan Jateng. Sementara PKS, kuat di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera Barat.
Barangkali ada sebagian kawan dari kalangan akar rumput tradisional yang berharap terjadi koalisi antara PKB dengan PDIP. Koalisi Islam tradisional-Nasionalis ini disangka merupakan koalisi yang ideal. Apalagi ditambah dengan semacam adagium: “Islam tradisional jangan koalisi dengan Islam modern. Ibarat shalat berjamaah di Masjid, kalau Nahdliyin berkoalisi dengan Nasionalis itu hanya kehilangan sandal. Sementara kalau berkoalisi dengan Islam Modern, masjidnya yang hilang.”
Adagium ini muncul akibat trauma masa lalu. Di era 1950-an, saat NU tergabung dalam Masyumi. Sengaja atau tidak, anggapan itu terus dianggap benar dan terus dipelihara. Akibatnya, Nahdliyin dengan kelompok Islam Modern dipandang seperti air dan minyak. Sulit menyatu.
Adagium itu harus dikikis, bahkan kalau bisa diubah, diruntuhkan. Di lingkungan NU diajarkan tiga ragam ukhuwah: ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Jika persatuan berdasarkan kebangsaan dan kemanusiaan bisa dilakukan, maka mengapa persatuan berdasarkan keimanan dan keislaman menjadi lebih sulit?