Anies dan “Angin Perubahan”
Lagu group band legendaris Inggris, Scorpion, Wind of Change”, bakal memaknai analogi “the noise imaging level” di front liner panggung politik Indonesia.
Makna suara lagu itu akan semakin keras nyaring berkumandang dan mendengung terlantangkan, manakala melintasi kurun 75 hari perhelatan kampanye nanti, hingga mendekati puncaknya menjelang pemungutan suara rakyat di Pilpres 2024.
Perlahan tapi pasti, dari sekarang angin perubahan— sudah terasa semakin menderas, mulai menggerakkan roda jejaring komunikasi politik “perlawanan” populisme atau kerakyatan di seluruh Indonesia.
Berkelindan di kecerdasan pikiran persepsi publiknya yang tampak semakin niscaya tengah mulai kegerahan dengan situasi dan kondisi “status quo” kepemimpinan rezim penguasa Presiden Jokowi yang semakin tak tentu arah dan amburadul.
Meskipun secara otomatis melalui proses konstitusional Jokowi akan berhenti, dikarenakan UUD 1945 mensyaratkan dua periode jabatan Presiden bagi dirinya telah usai dan berakhir. Pertanyaannya, mengapa angin perubahan itu terasa deras sekali sangat diinginkan dan diharapkan oleh rakyat?
Tentu selaras dengan adanya angin perubahan itu, mutlak dan wajib diperlukan figur kepemimpinan yang tepat untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik sesuai keinginan aspirasi dan harapan rakyat itu pula?
Yang jelas, sesungguhnya arus utama atau mainstream dari angin perubahan itu menginginkan kembalinya kebersatuan rakyat setelah selama nyaris satu dekade mengalami polarisasi dikarenakan penerapan sistem demokrasi Preshold 20% telah mengakibatkan perseteruan pendukung PilPres 2019, dimulai ketika hanya dua calon berhadap-hadapan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandi.
Meski, kemudian di perseturuan antarelite politik itu berakhir, dengan bergabungnya Prabowo-Sandi ke kabinet Jokowi, berharap sebagai upaya perwujudan rekonsiliasi nasional itu terjadi.
Tetapi tidak dengan rakyat pendukungnya di akar rumput yang menganggap Prabowo-Sandi “mengkhianati” perjuangan, justru mengakibatkan keterpecahbelahan itu semakin meruncing dan melebar.
Hasil Pilpres yang dipenuhi kecurangan, MK konspiratif saat proses persidangan legal standingnya —complaint Prabowo-Sandi meng-juducial review atas kecurangan itu, yang hasilnya kemudian tetap memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin, telah membekas di hati rakyat sebagai “luka kekecewaan sangat dalam”, mengusik hingga ke akar ketersinggungan bahwa penegakkan supremasi hukum yang berkeadilan itu telah diinjak-injak hanya demi satu ambisi kepentingan keberlanjutan kekuasaan di periode kedua Jokowi-Ma`ruf Amin itu.
Sekaligus, faktanya dari seluruh jejaring lembaga partai politik yang “berbau amis perselingkuhan” itu hanya melahirkan apa yang disebut “partai oligarki”, karena kemudian Gerindra pun turut bergabung.