Anies dan Partai Partisan Pejuang
Kemudian dikembalikan sepenuhnya ranah kekuasaan pemerintahan dan negara itu kepada kedaulatan rakyat yang selama nyaris satu dekade itu di kepemimpinan Presiden Jokowi itu terasa hilang, menghilang atau dihilangkan.
Maka, kelak tak sedikit pun adanya lubang angin, telah tertutup rapat tanpa celah. Tak akan ada lagi peluang dan kesempatan munculnya sokongan dan konspirasi politik kekuasaan dari, dengan dan oleh oligarki korporasi konglomerasi.
Yang pasti pengaruh buruknya akan membuat pemerintahan tidak independen, terbelenggu dan terantai kepentingan “vested interested” bisnis ekonomi oligarki korporasi itu:
Pemicu timbulnya kerusakan sistem nyaris di seluruh strata dan struktural pemerintahan, dengan tumbuh subur berjamurnya konspirasi, kolusi dan korupsi di keseharian yang tampak nyata kasat mata dialami di era penguasa rezim Jokowi.
Jadi, seperti halnya Nasdem, demikian juga dengan Demokrat dan PKS, ketiganya harus menjadi partai partisan pejuang.
Seperti penulis pernah literasikan dalam artikel di situs berita online suaraislam.id berjudul “The Three Musketeers Party”, yang mengutip dari buku novel sejarah heroik terlaris “The Three Musketeers” karya novelis sangat legendaris di Prancis dan Eropa umumnya, Alexander Dumas — yang sangat menarik isi novel sejarahnya itu penuh heroisme tentang gerakan kepartisanisme yang diusung oleh para prajurit yang berpedang panjang (muskett) itu.
Tetapi, di sisi lainnya sesungguhnya yang paling menarik, adalah karena di hardcover buku tebal 900 halaman itu tertera dan tersurat apologi esensi dan substansi tujuan kejuangan dan perjuangan ketiga partisan itu: “satu untuk semua, semua untuk satu”. Apakah apologi nilai luhur ini secara kekuatan sinergi integrasi dan integritas ketiga partai itu kelak pun bertujuan demikian?
Boleh saja dalam satu kesatuan trilogi partai itu adanya ketua atas roda kepemimpinan partai, adalah wajar dikarenakan Nasdem-lah yang bermula berinisiasi. Tetapi bukan berarti Nasdemlah yang paling berkuasa untuk setiap pengambilan keputusan politiknya.
Salah satu contoh misalkan, jika ketiganya ingin keluar sebagai partai pemenang kelak, harus ada keberanian melakukan kampanye adanya perubahan radikal di kabinet. Sudah tidak ada lagi berapa dan siapa partai politik yang paling banyak mendapatkan jatah jabatan menteri.
Tetapi, perubahan radikal itu —meski adanya di hak prerogatif Presiden, suatu keharusan ketiganya secara serentak mengusulkan kepada Presiden agar tak ada lagi menteri dari partai di kabinet. Tidak ada juga anggota parpol di lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti MA, MK, dan Kejaksaan Agung.
Sebagai terjadinya dinamika kompetisi “the parlement factory”, biarlah tempatnya para parpol berkumpul itu hanya di DPR dan MPR, tugas pokok utama bersama fokus pada sisi pengawasan kepada Presiden.