QUR'AN-HADITS

Ujian Keimanan Seorang Hamba

Di tengah kehidupan yang penuh ujian, tidak sedikit orang yang mengalami pasang surut dalam keimanan. Ketika hidup berjalan lancar, iman terasa kuat, namun saat ditimpa musibah, keyakinan mulai goyah. Al-Qur’an menggambarkan kondisi ini dalam Surah Al-Hajj ayat 11, tentang sosok yang beriman “di tepi” (dengan penuh keraguan) yakni iman yang tidak kokoh, mudah goyah oleh keadaan.

Artikel ini akan menelaah ayat tersebut sebagai cerminan krisis keyakinan yang banyak terjadi di masa kini, serta pentingnya membangun iman yang kuat dalam menghadapi ujian hidup. Allah SWT berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ِۨاطْمَئَنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ِۨانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan). Jika memperoleh kebaikan, dia pun tenang. Akan tetapi, jika ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kufur). Dia merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (QS. Al-Hajj [22]: 11)

Surah Al-Hajj ayat 11 ini diturunkan guna merespon fenomena sebagian orang Arab Badui yang masuk Islam tanpa pemahaman dan keyakinan yang mendalam. Mereka hanya menerima Islam selama kondisi hidup menguntungkan seperti mendapatkan rezeki, kesehatan, atau keamanan. Namun, ketika diuji dengan kesulitan seperti sakit, kemiskinan, atau kehilangan harta, mereka meragukan bahkan meninggalkan Agama.

Ayat ini bermunasabah dengan surah Al-Hajj ayat 8-10, yang dimana pada ayat 8-10 ini menjelaskan tentang seseorang yang menolak kebenaran dengan kesombongan tanpa ilmu dan Allah menghukum sesuai perbuatannya. Dan pada ayat 11 menggambarkan secara praktis dari bentuk keimanan bermasalah yang dibahas pada ayat sebelumnya. Diberikan juga contoh nyata orang yang imannya rapuh, beriman hanya saat untung, dan mundur saat merugi.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat yang menyebutkan, “Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi” menggambarkan sekelompok orang yang beribadah kepada Allah dengan penuh keraguan dan tanpa keyakinan yang kuat. Keimanan mereka diibaratkan seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang atau berada di barisan paling belakang dalam peperangan, siap mundur kapan saja jika keadaan tidak menguntungkan. Mereka belum memiliki keimanan yang teguh, tidak ikhlas dalam menjalankan ibadah, dan belum sepenuhnya percaya kepada ajaran Islam. Golongan ini termasuk dalam kategori orang-orang munafik.

Selanjutnya, dalam tafsir Ath-Thabari karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, dijelaskan bahwa makna dari kalimat, “Jika memperoleh kebaikan, dia pun tenang. Akan tetapi, jika ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kufur)” adalah bahwa seseorang akan rajin beribadah selama urusan dunianya berjalan baik. Namun, ketika menghadapi kesulitan atau musibah, ia berubah sikap, meninggalkan ketaatan kepada Allah, dan hanya beribadah jika ada keuntungan duniawi. Saat tertimpa kesusahan, ia pun meninggalkan agamanya dan kembali pada kekafiran.

Dalam kutipan ayat tersebut, ditemukan penggunaan kata khair (خير) yang berarti kebaikan, serta fitnah (فتنة) yang diartikan sebagai ujian/cobaan. Secara leksikal, antonim dari khair adalah syarr (شرّ), yang berarti keburukan atau kejahatan. Namun menariknya, ayat ini tidak menggunakan syarr, melainkan fitnah. Hal ini menunjukkan bahwa ujian yang diberikan kepada manusia tidak selalu berbentuk keburukan, tetapi juga bisa berupa kebaikan. Dalam konteks ini, kebaikan seperti harta, jabatan, atau kenyamanan hidup pun bisa menjadi ujian keimanan. Sayangnya, bagi mereka yang lemah imannya, segala bentuk ujian, baik dalam wujud kenikmatan maupun kesulitan, seringkali dianggap sebagai hal yang buruk.

Ayat ini ditutup dengan pernyataan, “Dia merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” Kalimat tersebut mengandung makna bahwa seseorang yang hanya berprasangka baik kepada Allah saat berada dalam kondisi lapang dan bahagia, namun berubah menjadi buruk sangka ketika menghadapi kesulitan, pada akhirnya tidak akan mendapatkan apa pun, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, ia hidup tanpa ketenangan dan kehilangan arah, sementara di akhirat, jika ia tetap berada dalam keadaan kufur, ia akan menghadapi kehinaan dan kecelakaan yang paling berat. Inilah bentuk kerugian yang sejati dan paling nyata, sebagaimana ditegaskan dalam ayat tersebut.

Sebagai umat Muslim, kita diajarkan untuk senantiasa beriman kepada Allah SWT, baik dalam keadaan senang maupun susah. Salah satu kisah yang menggambarkan hal ini datang dari seorang ulama besar Mesir, Hafidz Ibnu Hajar. Suatu hari, saat Ibnu Hajar melakukan perjalanan dengan kereta yang dikawal prajurit, ia bertemu dengan seorang penjual minyak Yahudi. Pria itu berpakaian kusam dan berbau minyak. Ia bertanya kepada Ibnu Hajar, “Agama kalian mengatakan dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir. Lalu mengapa kau hidup enak, sedangkan aku menderita?” Ibnu Hajar menjawab, “Kenikmatan yang aku rasakan di dunia ini tetaplah penjara dibandingkan nikmat surga kelak. Sedangkan penderitaanmu saat ini pun lebih baik daripada siksaan neraka jika engkau tidak beriman.” Jawaban itu menyentuh hati si penjual minyak, hingga akhirnya ia memeluk Islam. Kisah ini mengingatkan kita bahwa keimanan adalah bekal sejati, apapun kondisi kita di dunia.

Di era penuh ketidakpastian ini, banyak orang hanya taat saat hidup nyaman, tapi mulai meragukan Tuhan saat diuji. Narasi ini mengajarkan bahwa iman sejati harus kokoh dalam segala keadaan, karena ujian baik dalam bentuk kesulitan maupun kenikmatan adalah bagian dari cara Allah menguatkan hamba-Nya. Semoga kita bisa menjadi hamba yang terus berusaha meningkatkan keimanan kepada Allah SWT setiap harinya. Aamiin.[]

Nadia Abidatussyahidah, Mahasiswi Fakultas Ilmu Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta.

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button