Anies, Nasi dan Demokrasi
Apa yang dihasilkan —meski produk hukum UU sangat vital, tetapi yang sesungguhnya telah “menyimpang” dari konstitusi hakiki demokratisasi : UU KPK, UU Omnibuslaw, UU BRIN, UU BPIP, UU KUHP, UU IKN, dsb menyangkut turunan perundangan di bawahnya, berupa peraturan dan keputusan. Sesungguhnya seluruhnya produk UU sungsang dan pincang.
Sang Presiden boneka itu pun menjalankan pemerintahan negara secara otoriter —kemudian menggunakan Polri dan TNI sebagai penjagal bukan penjaga negara dan UU, Presiden yang seharusnya sudah dimakzulkan dikarenakan sudah jelas-jelas melakukan pelanggaran konstitusi —tak kentara, dibuat tak jelas hingga terbiarkan jadi pembiaran.
Bukan tak ada kekuatan dan kesanggupan rakyat melawannya yang diinisiasi hanya oleh mahasiswa, siswa SMK, organisasi buruh, dan segelintir ormas oposan. Mereka hanya mengalah, bukan kalah.
Dan negara “nasi kerak” dikendalikan oleh kepentingan oligarki itu telah mengubah wajah dan wujud negara “nasi kerak” menjadi negara otoritarianisme yang telah memutuskan urat leher kedaulatan negara seharusnya berada di tangan rakyat.
Dan sudah pasti efek limbah negara otoritarianisme, adalah kultur perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme di seluruh struktur, strata dan lini pejabat dan jabatan negara!
Untungnya, rakyat Indonesia masih diberkahi dan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa, saat era reformasi dalam amandemen UUD 1945-nya membatasi tentang jabatan Presiden hanya menjadi 2 (dua) periode saja.
Makanya, segala anasir pemerintahan otoritarianisme dan oligarki korporasi yang telah menjadi negara ini bak “nasi kerak” yang sudah basi, itu harus sudah dibuang, disingkirkan dan dimusnahkan.
Sudah tak ada seharusnya, adanya upaya-upaya untuk memperpanjang jabatan tiga periode yang serba direkayasa aspirasinya oleh baik di DPR, DPD, dan para Kepala-Kepala Desa, hingga ormas bayaran sebagai proxy setting , seperti Projo, Musra, dan Nusantara Bersatu.
Sudah tak ada seharusnya pula, adanya upaya-upaya merekayasa dan merekonstruksi, untuk mempertahankan legacy kekuasaan lama Jokowi, melalui turunan, koloni, kroni, trah, dan atau merekayasanya dengan “political puppets”.
Makanya, sudah tak ada seharusnya terkait pula merekonstruksi berbagai macam kombinasi koaliasi-koaliasi partai politik eks partai oligarki ini, karena “nasi kerak” eks partai oligarki sesungguhnya sudah out of the box politik, telah lebih menjadi dari sekedar limbah, bahkan sampah demokrasi.
Lihat saja fakta bukti faktualnya: PDIP dan Puan Maharani semakin terjerat teralienasi, Gerindra ditinggalkan oleh umat Islam, KIB ditinggalkan oleh komunitas dan kelompok akar-akar rumput pendukungnya, PKB jelas ditinggalkan komunitas Gusdurian, NU kultural dan Garis Lurus, dsb. Jadi, kombinasi koaliasi partai maupun bacapres dan bacawapres itu sudah tak laku, tak disukai dan sudah “tersisihkan” dari mesin pendulum pilihan “vote getter” sangat besar kekuatan kedaulatan rakyat.