‘Asal Bukan Anies’
Ketika zaman penjajahan kolonial dulu, slogan “merdeka atau mati” selalu menjadi adagium penyemangat besar bagi para pahlawan pejuang hingga rakyat jelata di seluruh pelosok wilayah Republik ini untuk berperang melawannya dengan penuh heroisme luar biasa. Sekalipun, hanya dengan membawa sepotong senjata bambu runcing.
Adagium itu tidak hanya sekadar berada di ghirah pikiran dan hati, ekspresi curahan dengan dan di coretan graviti di tembok bangunan di setiap sudut kota yang kondisinya porak poranda karena perang, tapi juga sudah menjadi niat dan tujuan akhir perjuangan dan perlawanan rakyat itu sendiri: jihadul fii sabilillah.
Tapi jika pemeo atau adagium itu dipadankan dengan refleksi sekarang demi adanya pilihan berganti pemeo dari “merdeka atau mati” itu menjadi “perubahan atau mati” , katakanlah, yang menandai tengah berkobar dan berkibar ghirah euforia politik dan menjadi tujuan akhir partai-partai Koalisi Persatuan untuk Perubahan (KPP) memenangkan Anies Rasyid Baswedan sebagai Presiden yang kelak akan membawa perubahan signifikan bagi Indonesia: rasa-rasanya itu pun sebagai sesuatu yang bukan terlalu dinaifkan dan dinafikan.
Itu dikarenakan oleh Anies pun dikemukakan seandainya pilihan pengorbanan berjuang dan perjuangan rakyat itu harus sampai mati, apakah itu berarti harapan dan impian rakyat dalam mewujudkan perubahan itu hal yang sangat sia-sia? Akankah percuma saja?
Tentu saja tidak! Bahkan, dia akan menjadi pemicu, pemantik dan pendulum gerakan perlawanan spiritualitas rakyat -lebih berkeadaban dan bermartabat ketimbang kegelimangan materialiistik hedonisme—yang akan semakin besar dan bertambah besar lagi untuk menuntut hak kedaulatannya sebagaimana tuntunan, amanah dan tuntutan hukum landasan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.
Muara akhirnya, jika upaya penegakan demokrasi itu tidak dilaksanakan —pengorbanan sampai harus mati pun—akan lebih realistik dan akan “dibayar tunai” dengan terjadinya datangnya bak tsunami mengalirkan suatu kekuatan gelombang badai people power! Yang akibatnya kita semua tahu negeri ini bakal mengenaskan!
Karenanya perubahan tanpa anarkisme itu akan dijamin oleh Anies dengan penuh komitmen, trustment dan amanah.
Justru ini yang terlalu dinaifkan dan dinafikan, jika perubahan itu dibiarkan hanya dan sekadar menjadi euforia pemeo dan adagium saja.
Bagi Anies perubahan itu kemudian sebagai kewajiban yang harus dibuktikan secara fakta faktual nyata. Sehingga, kelak perubahan itu akan menjelma menjadi “rekam jejak” yang secara historis bisa dibanggakan sekaligus dipertanggungjawabkan.
Bahkan, keberhasilan itu dapat menjadi monumen: bagian sangat penting dari entitas dan esensialitas momentum kenyataan atas adanya arus besar perubahan itu. Dan Itu telah dibuktikan oleh Anies ketika meraih keberhasilan itu memimpin Jakarta.
Maka, itulah sinonimnya kenapa jika penjajah kolonial dulu terus-menerus berusaha dengan segala daya upaya mengeliminasi peraihan kemerdekaan Indonesia. Padahal, sudah diproklamasikan oleh Soekarno Hatta mewakili atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu ke seluruh dunia.
Demikian juga rezim penguasa Jokowi, bersama partai oligarki, oligarki korporasi, orelpol artifisial bayaran, hingga pengerahan para buzzeRp “berkeroyokan” selalu berupaya dengan pelbagai dan segala cara bagaimana berusaha mengeliminasi keberhasilan Anies membuat Jakarta menjadi kota berkemajuan, berkesetaraan, berkeadilan, berkesejahteraan dan berkesatuan itu menjadi tidak “nyata” alias hazard di mata publik.