INTERNASIONAL

Aung San Suu Kyi Terus Mencoba Memanipulasi PBB

Dr. Maung Zarni
(Penulis adalah penasihat untuk European Centre for the Study of Extremism di Cambridge, Inggris, dan koordinator Koalisi Pembebasan Rohingya)

Pada 13 Juni, dalam pertemuan pertama antara Kanselir Negara Myanmar Aung San Suu Kyi dan Christine Schraner Burgener, wanita Burma itu meminta kepada sang Utusan Khusus Myanmar untuk Sekretaris Jendral PBB yang baru ditunjuk tersebut untuk memahami “situasi sebenarnya” di Negara Bagian Rakhine, di mana sekitar 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari keadaan yang oleh Sekjen PBB sendiri disebut sebagai “pembersihan etnis”.

Frasa “keadaan sebenarnya” yang dipakai Suu Kyi menyentil bel di kepala saya. Rasanya seperti déjà vu.

Karena 13 tahun yang lalu, kata-kata ‘situasi sebenarnya’ (di Myanmar) juga dipakai oleh Letjen. Myint Swe, yang kala itu menjabat sebagai Kepala badan intelijen militer Myanmar, kepada saya untuk menyampaikan pendekatan mereka kepada dunia — dalam tulisan-tulisan saya, penyampaian kepada media, dan pertemuan dengan para politisi dan diplomat.

Kami berdua saat itu sedang melakukan pertemuan empat mata pertama kami di Dagon Hall, sebuah ruangan di gedung lama War Office di Yangon, dengan wakilnya, Kolonel Mya Tun Oo — kini menjabat Kepala Umum Angkatan Bersenjata — sebagai notulen.

Waktu itu, saya baru kembali ke negara kelahiran saya setelah 17 tahun aktif menjadi oposisi pemerintahan militer Burma dari AS. Saya membenarkan kepulangan ini — dan dukungan saya — kepada para jenderal sebagai usaha seorang warga negara untuk membantu kepemimpinan militer melawan sanksi-sanksi Barat sehingga negara kami dapat berintegrasi kembali dengan komunitas dunia, terutama negara-negara Barat, yang saat itu berusaha mengisolasi Burma pasca-Perang Dingin dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan militer Burma. Jenderal Myint Swe adalah tuan rumah yang menjamin kepulangan saya selamat dan kemudian membantu saya mendapatkan kembali kewarganegaraan Myanmar.

Belakangan, saya menyadari apa yang dimaksud kepala mata-mata tersebut dengan “situasi sebenarnya” itu. Dia hanya ingin saya menjadi juru bicara untuk militer dan menyuarakan kejadian-kejadian dan kenyataan versi Burma; karena, mengutip kata-kata dia, “dunia tak mempercayai kita”, dan menganggap saya yang merupakan orang Burma berpendidikan Barat, adalah sumber yang lebih bisa dipercaya oleh dunia.

Bahwa “situasi sebenarnya” menurut militer sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat atau tidak, tak menjadi bahan pikiran Sang Jenderal (juga seluruh kepimpinan militer).

Saya kemudian mengakhiri dukungan saya untuk “para reformis” dalam kepemimpinan militer, yang sebelumnya saya berikan praduga tak bersalah.

Pada kenyataannya, para pemimpin militer yang sama juga membantai biksu-biksu Buddha dalam protes damai “Revolusi Saffron” di 2007, yang meminta kebijakan lebih lunak dalam menghadapi polemik ekonomi dan membuka blokade bantuan kemanusiaan untuk korban Siklon Nargis pada 2008. Jenderal tuan rumah saya berada dalam pusaran kejadian-kejadian keji yang menandai kekejaman dan kebrutalan pemerintahan militer ini.

Purn.Letjen Myint Swe hingga kini masih hidup dan menjabat sebagai Wakil Presiden dari pihak militer dalam pemerintahan bersama militer-NLD yang sekarang memimpin Myanmar.

Setahun lalu, setelah operasi “pembersihan keamanan” pertama terhadap “pemberontak Muslim” menyebabkan eksodus sekitar 100.000 Rohingya pada 2016 yang luput dari pemberitaan media, Wakil Presiden Myint Swe mengepalai Komisi Penyelidikan Nasional atas kekerasan di Kota Maung Daw, Rakhine, untuk pemerintahan NLD Aung San Suu Kyi, dan memutuskan pihak pasukan keamanan Myanmar tak bersalah walaupun kebrutalan mereka terekam dengan nyata. Tentara Myanmar, ujar Komisi Nasional, berlaku sesuai dengan peraturan dan hukum negara.

Kenyataannya, sangat memilukan melihat para pemimpin negara, politisi dan jenderal (juga eks-jenderal) memperlakukan fakta dan kebenaran seakan-akan karet gelang, yang bisa dimanipulasi bentuk dan panjangnya sesuka hati.

Atas pemalingan muka dan penolakannya terhadap kejahatan-kejahatan oleh militer, yang didirikan ayahnya tiga tahun sebelum dia lahir, Suu Kyi dicela oleh seluruh dunia, mulai dari Yang Mulia Dalai Lama hingga Desmond Tutu, pensiunan Uskup Agung Cape Town di Afrika Selatan. Juga dari sesama wanita penerima Nobel sampai jajaran editorial koran-koran terkemuka dunia, termasuk Washington Post, Times, Guardian dan New York Times. Lebih buruk lagi, pegiat hukum internasional dan hak asasi manusia termasuk jaksa penuntut Milosevic, Sir Geoffrey Nice dari Inggris dan Utusan Khusus PBB untuk HAM di Myanmar, Profesor Yanghee Lee, menyatakan kemungkinan ikon anti-kekerasan ini telah berlabuh ke sisi pemimpin-pemimpin militer, yang juga merupakan rekan-rekannya memerintah Myanmar.

Enam tahun telah berlalu sejak dua kekerasan berskala besar — pada Juni dan Oktober 2012 — terhadap Rohingya, yang merupakan persekusi sistematik selama puluhan tahun oleh negara Myanmar kepada komunitas minoritas Muslim ini mencuri perhatian dunia, pemerintahan Aung San Suu Kyi berubah dari buruk menjadi semakin buruk saja. Dari pendiaman, penafikan yang disengaja, penolakan aktif hingga penyingkiran dokumentasi aksi kriminal internasional, Suu Kyi mengizinkan apa yang disebut oleh para pejabat kemanusiaan PBB dan utusan khusus sebagai ‘pertanda genosida’ atau ‘diduga secara kuat merupakan aksi genosida’.

Pada ulang tahunnya yang ke 67 — pada 18 Juni 2012 — saya mendapatkan kesempatan untuk merekam program televisi Rule of Law Roundtable dengan pemimpin Burma ikonik tersebut, yang oleh masyarakat Burma disebut sebagai “Ibu” (orang-orang Burma). Panelis lain dalam program itu termasuk Sir Geoffrey Nice, Profesor Hukum Oxford Nicola Lacey dan Profesor LSE Mary Kaldor dan Christine Chinkin.

Beberapa hari sebelum panel diskusi ini, Suu Kyi yang gagal menghadapi tes yang dilemparkan oleh media soal pengetahuannya tentang krisis yang mulai muncul di Myanmar Barat — dia tak bisa menjawab pernyataan mendasar yang diajukan oleh jurnalis National Public Radio dari AS, Anthony Kuhn: “Tahukah Anda jika Rohingya adalah rakyat Anda, rakyat Myanmar?” — mengirimkan pesan melalui Kantor Luar Negeri Inggris bahwa dia tidak siap menghadapi pertanyaan soal Rohingya. Sebelumnya, saya diperintahkan untuk menanggapi semua pertanyaan soal Rohingya, yang saat itu mulai melekat kepada Myanmar di mata dunia.

Dari menggunakan strategi tutup mulut enam tahun lalu, Aung San Suu Kyi sekarang selalu tampil dengan penolakan, penafikan, distorsi informasi yang disengaja, dan ketidakjujuran soal Rohingya, semua bertujuan untuk mengatakan kepada dunia “situasi yang sebenarnya” di lapangan.

Wawancara terbarunya dengan NHK, televisi nasional Jepang yang juga merupakan teman Myanmar, adalah wawancara pertamanya dalam lima tahun yang membuktikan analisa ini. Dia sengaja menyalahkan pernyataan Profesor Amartya Sen — guru Suu Kyi di Delhi University dan kawan dekat mendiang suaminya Michael Aris — yang menyebut peristiwa Rohingya adalah “genosida perlahan” yang dimulai beberapa dekade yang lalu. Suu Kyi dengan tidak jujur menyebut persekusi Rohingya yang dilembagakan oleh junta militer, fakta yang terdokumentasi dengan baik sejak akhir 1970-an, sebagai “konflik komunal” yang sudah berlangsung sejak “beberapa abad” sambil menyatakan bahwa “hanya sedikit orang di dunia ini yang memahami sejarah (intrik) dan permasalahan ini”.

Penelitian demi penelitian dari genosida di masa lalu telah menemukan fakta bahwa genosida, dari Holocaust ke Rwanda dan Bosnia, bukanlah hasil dari konflik militer atau kekerasan antar-komunitas yang bisa disamakan secara moral: genosida, tanpa kecuali, adalah tindakan kriminal berskala besar yang dilakukan oleh negara — sekarang sudah dianggap ilegal oleh Konvensi Genosida 1948 — yang bertujuan untuk menghapuskan keberadaan suatu etnis, agama, ras atau minoritas di negara tersebut, yang tipikalnya diaku oleh pihak yang menganiaya, baik negara atau komunitas mayoritas, sebagai “ancaman bagi negara atau keamanan negara”.

Suu Kyi saat ini sedang dalam proses membentuk lagi komisi penyelidikan untuk menetapkan fakta-fakta soal “kejadian sebenarnya” di Rakhine, yang oleh Jaksa Penuntut ICC di The Hague diyakini terlibat dalam aksi kriminal terhadap kemanusiaan yang menargetkan etnis minoritas Rohingya.

Sementara negara-negara lain di dunia melihat Myanmar melakukan tindak kriminal internasional sistematis yang kejam — apa pun nama resmi yang diberikan — dan PBB berusaha mencari akses ke lokasi kriminal, pemerintahan NLD Suu Kyi secara terbuka menolak mandat Dewan HAM PBB untuk mengirimkan Misi Pencari Fakta Internasional sejak pembentukannya pada 2016.

Alih-alih, Suu Kyi membentuk Komisi Rakhine dengan diketuai Kofi Annan dan terus menggunakannya sebagai humas untuk melawan kritik global yang ditujukan kepada kepemimpinan dan negaranya.

Lebih jauh lagi, mantan ikon hak asasi ini tak malu-malu lagi melakukan perundungan dan melontarkan ancaman kepada siapa pun yang berani memunculkan permasalahan tindakan kriminal yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya.

Menurut Utusan Khusus PBB Yanghee Lee, Aung San Suu Kyi melontarkan ancaman secara pribadi kepadanya. “Anda tahu, bila Anda melanjutkan misi PBB (sebelum HAM), Anda tidak akan bisa kembali ke sini (Myanmar)” — ancaman ini dia tindak lanjuti: Profesor Lee dilarang memasuki Myanmar selama sisa masa jabatannya. Aung San Suu Kyi juga merupakan Menteri Luar Negeri yang memutuskan siapa yang boleh diberikan visa dan siapa yang harus ditolak permohonannya.

Suu Kyi kini bersikukuh pemerintahannya melakukan kegiatan membangun, yakni menangani situasi di Rakhine sesuai dengan rekomendasi Komisi Rakhine yang dipimpin Kofi Annan. Namun dari pembentukannya, komisi Annan, berdasarkan pengakuan resminya sendiri, diberi mandat untuk tidak memeriksa tuduhan pelanggaran HAM di Rakhine, atau dugaan pelanggaran perjanjian internasional dan badan hukum Myanmar seperti Konvensi Genosida, yang telah diratifikasi oleh Myanmar pada 1956, atau Konvensi Hak Anak. Suu Kyi bahkan secara resmi melarang Komisi Annan untuk menyebut Rohingya dengan nama kelompok mereka.

Meskipun ada dokumen-dokumen resmi yang mudah diakses dan menyediakan bukti tak terbantahkan yang mendukung klaim Rohingya bahwa mereka berhak tinggal di Myanmar sebagai etnis minoritas yang menikmati kewarganegaraan penuh dan sederajat bahkan di masa awal pemerintahan junta militer pada 1960-an dan awal 1970-an, Kementerian Informasi di bawah kontrol Suu Kyi melarang Radio Free Asia TV yang berbasis di Washington untuk menyiarkan di kanal tentang Myanmar dengan penyebutan kata Rohingya. Jajaran dewan direktur RFA merilis pernyataan resmi yang menyebut pemerintahan Suu Kyi sebagai “Orwellian”, dan menggarisbawahi fakta pemerintah Myanmar berusaha “menyangkal keberadaan sekelompok orang”, dimulai dengan usaha untuk “menghapus identitas mereka”.

Dalam wawancara dengan NHK yang saya sebut tadi, Suu Kyi, mantan tahanan politik dan korban persekusi negaranya selama 15 tahun, juga membenarkan penahanan dua jurnalis Buddha oleh negara dengan alasan mereka membocorkan “rahasia-rahasia resmi negara” hanya karena mereka membuka keberadaan kuburan massal orang-orang Rohingya, disertai dengan bukti foto-foto dan cerita dari saksi mata.

Selama 15 tahun saya menjadi aktivis akar rumput Burma, saya memberikan penghormatan tertinggi kepada Suu Kyi, dan mengikuti kebijakan-kebijakannya untuk mengisolasi dan memberi sanksi kepada negara kami secara verbatim. Namun aksi penipuan, distorsi dan penolakan fakta di lapangan yang kini dilakukannya tak mengejutkan saya. Ini adalah kualitas-kualitas negatif Suu Kyi yang sudah saya lihat sejak 2004 yang mendorong saya memutuskan hubungan dengan partai NLD yang dipimpinnya, memalingkan diri saya dan menjadi pemimpin oposisi serta mencari jalan alternatif untuk menyuarakan liberalisasi politik di negara kelahiran saya — secara spesifik, dengan bekerja bersama para jenderal yang dianggap sebagai “calon reformis potensial”.

Namun perkembangan peristiwa tragis ini mengukuhkan penarikan dukungan dan kerja sama saya dengan kedua belah pihak, para jenderal militer dan pemerintahan NLD. Rasanya sungguh luar biasa menyakitkan melihat dua musuh bebuyutan kini berkolusi, bukan menuju demokratisasi atau akhir yang damai dari perang sipil terpanjang di dunia (antara angkatan bersenjata Myanmar dengan kelompok-kelompok perlawanan etnis non-Rohingya seperti Kachin, Karen, dll) namun untuk menutup-nutupi kejahatan kemanusiaan negara kami dari genosida terhadap Muslim Rohingya.

Tidaklah sulit untuk memahami logika utilitarian Suu Kyi yang kurang lebih berbunyi “kami punya masa depan seluruh negara untuk dipikirkan, bukan cuma populasi kelompok kecil di satu wilayah”. Mantan ikon hak asasi manusia ini sekarang memandang, dengan penghinaan yang tak ditutup-tutupi, dunia yang sebelumnya meneriakkan hak asasi atas dirinya dan kini berdiri di belakang hak hidup dan tinggal kaum Rohingya. Dan dalam hal ini, hak asasi semua warga Myanmar termasuk wartawannya.

Sebagai catatan, keputusan saya menjadi oposisi secara terbuka 30 tahun lalu melawan junta militer dan pengesahan pelanggaran HAM oleh mereka terinspirasi oleh tindakan kepahlawanan Suu Kyi dalam membela prinsip-prinsip kebenaran dan liberalisme.

Hari ini, saya ingin Aung San Suu Kyi bertanggungjawab atas kolusi yang dilakukannya secara sukarela dengan pemimpin junta militer Myanmar dalam kejahatan mereka atas seluruh komunitas etnis. Kejahatan Suu Kyi bukan lagi karena dia hanya diam atau gagal melaksanakan kewajibannya untuk menjamin “perdamaian dan keamanan” untuk warga Rohingya.

Hal terakhir yang bisa dilakukan oleh pejabat dan utusan PBB adalah mengizinkan diri mereka digunakan sebagai “pembawa pesan” dari “situasi sebenarnya” versi Suu Kyi. Betapa pun menariknya itu, para pelaku internasional seharusnya tak begitu saja sepakat dengan wacana-wacana utilitarian Suu Kyi seperti pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, konflik sipil yang sudah berlangsung selama berabad-abad, dan pendekatan bertahap untuk mengatasi konflik di Rakhine.

Di tengah-tengah kejahatan internasional Myanmar kepada Rohingya sebagai umat manusia, baik di dalam Myanmar maupun di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh — semuanya di bawah pengawasan Suu Kyi dan komplotannya — PBB harus berhenti menyuarakan kebohongan-kebohongan Myanmar — seperti mengabaikan panggilan akuntabilitas oleh Mahkamah Kriminal Internasional dengan alasan untuk mendukung “transisi demokratis mereka yang rapuh”.

PBB tak boleh mengizinkan Suu Kyi membentuk “komisi penyelidikan” lain di bawah sistem pengadilan Myanmar yang tak berfungsi, karena tak dilengkapi dengan perangkat untuk menghukum kejahatan luar biasa atau memiliki independensi judisial.

Tidak ada rezim politik, baik sipil maupun militer, yang melakukan kejahatan internasional kepada kaum minoritas negaranya sendiri layak diberikan praduga tak bersalah, ketika politisi berpendidikan Oxford yang pandai bersilat lidah di negara tersebut berkata mereka sedang dalam proses bertahap menuju liberalisasi dan resolusi atas krisis yang menimpa orang-orang yang keberadaannya telah disangkalnya sendiri.

Sumber : Anadolu

Artikel Terkait

Back to top button