MUHASABAH

Babe Haikal Mimpi, Salahnya Dimana?

Aneh plus lucu di negeri tercinta, mungkin itu gambaran saya membaca berita bahwasannya Gus Rofi’i melaporkan Babe Hasan ke polisi. Alasannya sederhana, karena mimpi!

Ceritanya, saat hadir di pemakaman atas gugurnya enam Laskar FPI, Babe Hasan memberi sedikit spirit pada keluarga bahwasannya sempat bermimpi dengan Baginda Nabi. Di dalam mimpi itu ada sinyal baik yang didapat. Ada suntikkan moril atas langkah juang yang selama ini digeluti. Utamanya, yang gugur itu meninggal di jalan yang benar.

Nah, kata-kata Babe ini terpublikasi hingga viral. Terjadilah polemik. Klimaksnya, “Front Pejuang Islam” melaporkan mimpi itu atas kasus kebohongan.

Banyak kalangan mempertanyakan motif pelapor. Apa benar murni karena kesadaran hukum? Atau sekadar cari sensasi? Atau motifnya dendam.

Ini senada dengan pernyataan budayawan Sutejo di akun twitter-nya, yang menyindir pelaporan itu hanya upaya dendam belaka. Sebab, kalau ia menjadi polisi tentunya harus puasa 40 hari lagi demi mencari kemurnian bahwa itu kasus hukum.

Di sebuah kajian saya pernah mendengar terkait bermimpi bertemu Nabi. Itu memang dibenarkan dan ada kiat-kiatnya. Bisa atau tidaknya, tergantung kualitas dan upaya kita. Ada etika juga, kalau memang benar bermimpi nabi. Sebab, bertemu nabi adalah sebuah anugerah besar dan tak ada yang bisa menyerupainya, sekalipun dalam mimpi.

Nah, lalu bagaimana sebaiknya menyikapi ikhwal ini?

Hemat saya, ada baiknya perihal mimpi itu disikapi bijak. Tak harus melaporkan pada pihak berwajib. Lagian, relevansinya terlalu mengada-ada.

Kalau memang publikasi itu dianggap berbahaya. Apa tak seharusnya tabayyun dulu. Mencari kebenaran. Apa maksudnya dan kemana arah pembicaraan itu.

Alangkah elok, amanah Pancasila di butir keempat itu diaplikasikan. Ya, musyawarah. Tak sedikit dari kita yang berkoar dan sesumbar perihal Pancasila dan merasa sudah Pancasialis, tapi dalam kenyataan jauh panggang dari api.

Ini saatnya berbenah, mereflesikan dasar negara kita juga menjalankan ajaran ayat suci. Bukankah ayat suci menginformasikan kepada kita agar bermusyawarah dalam segala urusan. Nabi juga ajarkan dalam kehidupan, bagimana Nabi tak mudah memutuskan permasalahan sebelum musyawarah, bila wahyu secara eksplisit tidak menyebutkan.

Ruang sosial kita selalu panas dan berisik, bisa jadi karena warga negara “kurang cerdas” menangkap isi pembicaraan. Kita lebih suka melihat kekurangan dan kesalahan, daripada mencari makna tersembunyi dari sebuah pernyataan.

Bisa jadi, ini efek literasi di Indonesia kurang ideal. Daya baca lemah tak diiringi kualitas akhlak sempurna. Kalau begitu, wajar sekali apa-apa dibawa jalur hukum. Kearifan lokal hilang karena dendam dan kepentingan. Persaudaraan pun pecah. Entah kapan kita membangun dan memikirkan hal yang lebih esensial. Tak sekadar seremonial dan formalitas belaka!

Hari ini mimpi dipersoalkan, besok-besok apa lagi. Apakah ini wajah demokrasi yang katanya kebebasan itu intinya? []

Pandeglang, 20/12/2020

Mahyudin An-Nafi

Artikel Terkait

Back to top button