Bagi Petani Tebu Hidup tak Semanis Gula
Kaget. Sebagai ibu rumah tangga saya jelas terkejut. Gula yang biasanya Rp12.000/kg kini naik menjadi Rp19.000/kg. Bahkan ada yang Rp20.000 kata pedagang di pasar tradisional.
Stok gula menipis. Demikian alasan yang diberikan oleh pemerintah. Menanggapi harga gula yang terus melonjak, berkejaran dengan komoditas lain. Ya, bukan hanya gula yang naik. Bawang putih, bawang merah, ayam, ikan, dan lain-lain turut naik.
Jelang Ramadhan dan Idul Fitri. Ini pun menjadi alibi atas kenaikan harga gula. Permintaan bertambah sementara persediaan terbatas. Padahal idul fitri masih kurang lebih tiga bulan lagi. Dan tak ada terdengar kabar rakyat kesulitan mendapatkan gula. Gula masih mudah ditemukan, tak seperti masker yang tetiba hilang dari peredaran.
Dengan dua alasan di atas, pemerintah membuka kran impor gula sebanyak 438.802 ton gula. Dan untuk melegitimasi kebijakan impor gula, pemerintah telah mengeluarkan regulasi baru yaitu, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula.
Lagi-lagi impor. Baru beberapa bulan yang lalu, impor bawang putih. Sebagai solusi meroketnya harga bawang putih di pasaran. Tahun lalu beras yang diimpor, hingga menumpuk dan membusuk di gudang bulog. Ada apa dengan impor gula?
Pertama, Permendag No. 14 Tahun 2020 mengubah nilai kemurnian gula yang diimpor. International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis/ICUMSA atau IU untuk gula kristal mentah, misalnya, diubah dari minimal 1.200 IU menjadi minimal 600 IU.
Dengan IU minimal 600 tadi, maka akan memungkinkan masuknya gula mentah sebagai bahan baku. Ini akan memukul petani tebu. Sebagai penyedia bahan baku gula dalam negeri, petani tebu mesti bersaing dengan gula mentah impor.
Kedua, Permendag tersebut mengijinkan swasta untuk mengimpor gula selain BUMN. Dari 438.802 ton yang hendak diimpor, berbagi jatah antara bulog dan swasta. Bulog meminta 200.000 ton, sedangkan sisanya swasta.
Jelas akan banyak yang tergiur dengan proyek impor. Tidak sedikit keuntungan yang akan didapatkan oleh mafia impor. Wajar jika ada yang mengira bahwa kenaikan harga gula hanya permainan untuk memuluskan impor.
Membuka kembali catatan kelam tentang mafia impor. Akhir Desember tahun lalu, Jokowi murka setelah mengetahui bahwa keuntungan mafia migas sebesar satu triliun rupiah perbulan (cnbcindonesia.com, 17/12/2019). Tak kalah fantastis jumlahnya, mafia bawang putih mendapatkan keuntungan Rp19 triliun (tempo.co, 01/06/2018). Apa tidak belajar dari kasus sebelumnya?
Ketiga, stok gula masih aman. Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin mengatakan pemerintah tak perlu impor gula karena stok gula masih mencukupi hingga Mei 2020.
“Pemerintah tidak perlu melakukan impor karena stok masih cukup. Ada sisa stok akhir tahun 2019 sebanyak 1,080 juta ton dan pada akhir tahun 2019 juga sudah ada impor GKP (gula kristal putih) sebanyak 270.000 ton untuk memenuhi kebutuhan awal tahun 2020. Jadi stok awal tahun 2020 sebanyak 1,350 juta ton. Jadi untuk memenuhi kebutuhan bulan Januari-Mei 2020 stok cukup karena kebutuhan Gula konsumsi per bulan rata-rata 230.000 ton secara nasional. Jadi 5 bulan kira-kira butuh 1,150 juta ton,” kata Khabsyin (detik.com, 24/02/2020).
Jadi, impor gula ini untuk siapa? Jika alasan pemerintah untuk buffer stock, mengapa pada musim panen 2019 lalu gula dari petani tak diserap? Dan sekarang mau impor lagi pada saat petani sedang menanti panen tebu di bulan Maret-April nanti.
Hal ini jelas mematikan para petani. Karena akan menurunkan harga gula. Untuk itu, para petani berharap ada harga patokan gula petani (HPP) sebesar Rp12.000/kg. Namun usulan ini tak kunjung disetujui.
Memang tak ada itikad baik untuk menyejahterakan rakyat. Itulah pemerintah bersistem kapitalisme. Ditambah lagi dengan rezim oligarki yang sedang berkuasa saat ini. Maka semakin sempitlah kehidupan rakyat pada umumnya, dan petani tebu pada khususnya.
Menurut Bank Dunia, ada 115 juta penduduk Indonesia rentan miskin (tirto.id, 30/01/2020). Artinya, hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia yang 267 juta jiwa. Bappenas menyebutkan, ada 9,4 juta penduduk miskin. Sebagian besar adalah buruh tani.
Para petani dimiskinkan secara sistem. Lahan mereka tergusur oleh alih fungsi menjadi perkebunan sawit. Jika tidak sawit, untuk tambang. Jika tidak keduanya, untuk perumahan atau perusahaan. Yang kesemuanya digarap oleh swasta. Para petani dapat apa? Hanya uang ganti lahan, Untuk kehidupan selanjutnya, mereka bekerja serabutan.
Mau tetap bertahan sebagai petani, bersaing dengan komoditi impor yang terus membanjiri negeri. Akhirnya, hasil pertanian mereka tak mencukupi kebutuhan hidup. Jangankan mencukupi, untuk mengembalikan biaya pengolahan lahan pun terkadang tak cukup.
Sungguh hidup petani tebu tak semanis gula. Pahit yang dirasakan adalah sebuah akibat dari diberlakukannya sistem kapitalisme. Sistem buatan manusia yang berorientasi pada materi dengan menghalalkan segala cara. Meskipun harus memeras keringat dan darah orang lain, seperti petani, tak jadi soal asalkan bisa meraup keuntungan yang banyak.
Pahit dan sempitnya hidup ini seharusnya menjadi renungan untuk kita. Bahwasanya Allah telah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an surah Thoha ayat 124: “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”
Jika demikian, patutlah kita kembali pada Islam kaaffah. Dan mencampakkan kapitalisme sebagai biang kerok kehidupan yang rusak dan merusak ini. Wassalam. []
Mahrita Julia Hapsari
(Praktisi Pendidikan)