Bahagia Ramadhan, Taat Syariat Allah
Bahagia dengan Syariat Allah
Kebahagiaan menyambut tamu agung adalah tanda keimanan. Tapi yang harus dipahami, syariat Allah tak hanya terkait dengan puasa. Masih banyak syariat lainnya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits. Syariat Allah ada terkait hablumminallah (shalat, puasa, haji, zikir, zakat, infaq sedekah, tilawah Al-Qur’an, dan sebagainya), hablum bin nafs (makanan, minuman, pakaian dan akhlak) serta hablumminannas (ekonomi, sosial budaya, hukum sanksi, politik, pemerintahan, dan sebagainya).
Imannya seorang muslim harus mendorong dirinya berbahagia dengan berbagai syariat yang Allah turunkan. Muslim sejati memahami setiap syariat Allah adalah aturan terbaik dalam mengatur kehidupannya. Karena Allah Maha Mengetahui kemashlahatan bagi manusia lebih dari manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al Maidah: 50).
Bukti bahagia dengan syariat adalah diamalkan sekaligus diterapkannya dalam kehidupan. Pelakunya tak hanya pada level individu muslim tapi masyarakat dan negara. Karena keterikatan pada syariatNya adalah kewajiban dimana pun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Tak pantas bagi seorang muslim mengambil sebagian syariat Allah yang disukai, di sisi lain membuang sebagian yang tak disukai. Syariat Allah bak prasmanan. Ini adalah tanda kekufuran yang nyata. Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85).
Tapi mirisnya realitas ini, terjadi di negeri ini hari ini. Sistem demokrasi sekuler diterapkan dalam kehidupan. Sehingga secara sistemik mengikat kaum muslim hanya mengamalkan syariat terkait hablumminallah tapi mengabaikan syariat hablum minannas. Padahal pengabaian satu saja syariat Allah adalah dosa dihadapanNya.
Saatnya Ramadhan bukan sekadar rutinitas, tapi dengan takwa pada Allah menjadi momentum bagi muslim menolak sistem demokrasi sekuler. Karena ini bukanlah sistem yang mengantarkan pada ridha Allah, tapi sebaliknya kemurkaanNya dan kesengsaraan akibatnya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Ummu Neysa