OPINI

Banjir Dimana-mana, Hanya Anies yang Disalahin

Jabodetabek banjir. Jabodetabek itu singkatan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Tidak hanya Jabodetabek, bahkan tiga provinsi banjir: Jawa Barat, DKI dan Banten.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa di Jawa Barat ada 97 titik banjir, di DKI ada 63 titik dan di Banten ada 9 titik. Dengan luasnya wilayah atau provinsi yang tekena banjir dan besarnya curah hujan, bahkan terbesar setelah 1963, maka ini termasuk bencana nasional.

Banjir tertinggi ada di Jatiasih Bekasi. Tingginya mencapai 2,5 m. Rata-rata tinggi banjir di kabupaten Bekasi (32 titik) dan Bekasi kota (53 titik) 1-2 m. Secara umum lebih parah dari DKI. Belum yang di Bogor, Depok dan Bandung.

63 titik banjir di Jakarta disebabkan terjadinya hujan lokal sangat deras dan lama, adanya air kiriman dari puncak Bogor yang juga hujan lebat, disamping air laut yang sedang pasang. Tak dapat dihindari, banjir terjadi dan durasinya agak lama. Karena laut sebagai pembuangan terakhir sedang pasang. Ini menjadi PR serius buat Anies ksdepan selaku gubernur DKI. Disamping Jokowi yang juga punya juga ingin mengatasi banjir sejak jadi gubernur DKI. “Akan lebih mudah mengatasi banjir kalau jadi presiden”, kata Jokowi saat itu. Sekarang Jokowi jadi presiden dan sudah membangun dua bendungan di Bogor. Bentar lagi katanya selesai.

Tak hanya pemukiman dan jalan raya yang banjir, bahkan sejumlah jalan tol juga banjir. Di antaranya adalah jalan tol Jakarta-Cikampek, Cipali-Semarang dan tol layang yang baru saja uji coba. Banjirnya tak kalah parah.

Hanya saja, Jakarta yang paling ramai. Gubernurnya jadi obyek bully dan caci maki. Padahal, jika dilihat tingkat keparahan banjir dan luasnya lokasi, Jawa Barat hampir dua kali lipat lebih parah. Terutama Kabupaten Bekasi dan Bekasi Kota. Tapi, gubernur Jawa Barat, bupati dan walikota Bekasi relatif aman dari bullian.

Kenapa? Pertama, Jakarta itu Ibu kota. Dekat dengan media. Apapun yang terjadi di Jakarta, positif maupun negatif, pasti ramai. Tidak perlu heran, karena Jakarta dikenal publik sebagai wilayah politik. Terutama sajak era Jokowi, lalu dilanjutkan Ahok. Dan semakin ramai ketika Ahok kalah dalam pilkada 2017.

Maka segala komentar yang muncul umumnya politis. Pendapat yang muncul seringkali bernuansa politik. Tentu tak semua. Karena, di Jakarta masih banyak tokoh yang punya pandangan jernih dan obyektif. Waras otaknya.!

Kedua, gubernur Jakarta punya haters. Semua kepala daerah pasti juga punya haters. Bedanya, haters Anies ini dirawat, aktif dan bahkan sangat atraktif. Tak salah kalau disebut sebagai haters profesional. Sebagian diduga “premium”.

Haters profesional ini kerja spesialnya cari-cari kesalahan Anies, lalu mengolahnya agar jadi barang “bullyan”. Tak ubahnya seperti dirijen isu.

Kenapa para haters itu tidak bully Pak Jokowi terkait sejumlah jalan tol yang banjir? Kenapa tidak kritik Ridwan Kamil di mana Jawa Barat paling parah dan terluas titik banjirnya. Kenapa juga tak salahin gubernur Banten, bupati Bekasi, walikota Tangsel, Depok dan Bandung? Bukankah banjir di wilayah-wilayah itu gak kalah parahnya? Ini masalah politik dan soal keberpihakan media.

Pendukung Anies cukup banyak. Meski hatersnya tak sebanyak pendukung, tapi sangat aktif dan atraktif di medsos. Sebagian bekerja secara sistematis dan terstruktur. Punya cyber army. Namanya juga pekerja profesional. Meski tak semua. Sebab, tak semua pengritik Anies itu haters. Masih banyak orang-orang baik dan bijak yang peduli kepada DKI dan Indonesia. Mereka memberi masukan positif dan bijak.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button