Barisan Hizbullah: Peran Jihad dalam Perjuangan Kemerdekaan
Barisan Hizbullah dan Barisan Sabilillah mungkin adalah nama yang bisa jadi asing bagi generasi muda Indonesia hari ini. Tidak heran, nama kedua laskar rakyat ini memang jarang diperkenalkan dalam buku-buku sejarah di bangku sekolah. Padahal peran Hizbullah dan Sabilillah cukup strategis dan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah peristiwa penting dan menentukan di tanah air seperti pertempuran Palagan Ambarawa, Pertempuran 10 November di Surabaya (sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan), Pertempuran 5 hari di Semarang, dan lain sebagainya tidak lepas dari peran pasukan Hizbullah maupun Sabilillah. Penumpasan pemberontakan PKI Muso tahun 1948 juga berkat peran kedua laskar yang lahir dari rahim kesadaran jihad umat Islam di Indonesia tersebut.
Kemerdekaan Indonesia tidak diraih dengan diplomasi semata. Anugerah ini bahkan harus digenggam dengan menguras darah dan air mata. Tulisan ini secara khusus didedikasikan untuk mengenang peran perjuangan dan jasa-jasa para mujahid yang tergabung dalam barisan Hizbullah dalam mengantar menuju gerbang terbentuknya Republik Indonesia dan pertahanan kemerdekaan. Mudah-mudahan buah baik berupa kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan tidak akan membuat generasi hari ini menjadi durhaka dengan tidak memahami langkah dan pilihan para pejuang di masa lalu.
KELAHIRAN HIZBULLAH
Barisan Hizbullah lahir dari rahim umat Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kesengsaraan akibat penjajahan. Landasan utama perjuangan laskar rakyat ini adalah menggunakan Al Quran dan Shunnah sebagai pedoman hidup. Dalam konsep Islam, kebatilan dan kedzaliman harus dienyahkan. Dengan diiringi semangat cinta tanah air dan keinginan untuk merdeka menentukan nasib sendiri, maka terbentuklah barisan Hizbullah.
Pada masa pendudukan Jepang di tanah air, Dai Nippon mulai memperkenalkan programnya untuk membebaskan Asia dari penindasan dan hegemoni Barat. Program yang dikenal dengan sebutan “3A” ini disambut baik oleh rakyat Indonesia. Masa itu belum nampak sama sekali motif Pemerintahan Jepang yang hakikatnya setali tiga uang dengan kedatangan bangsa Kristen Eropa yang telah menjajah terlebih dahulu. Tidak heran, dukungan mengalir dari berbagai kalangan, mulai dari golongan nasionalis hingga agamis, termasuk umat Islam.
Apalagi pada masa-masa sebelum kedatangannya, nama Jepang sudah dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai lawan Barat. Berbagai media di Tanah Air pada masa itu sering memberitakan bahwa Jepang telah menjadi kekuatan baru yang tidak terbendung di Asia pasca berhasil menguasai China. Bahkan muncul opini bahwa tidak ada lagi yang mampu mematahkan perkembangan Jepang, termasuk Barat. Harapan bermunculan dari berbagai pelosok Asia, ketika Jepang menyerukan hendak mengusir bangsa-bangsa Barat dari Asia. Majalah “Berita Nahdlatoel Oelama’” terbitan 1938 misalnya, berupaya meyakinkan bahwa dengan kemunculan Jepang di pentas Internasional, – Perancis akan diusir dari Indo-China, Australia dan India akan dibebaskan dari cengkraman Inggris, Siberia akan dimerdekakan dari penjajahan Rusia, dan juga Indonesia dari kungkungan Belanda. Semboyan Jepang, “Asia boeat bangsa Asia” rasanya seperti menjanjikan angin surga untuk bangsa-bangsa yang merindukan bebas dari penindasan bangsa Kristen Barat.
Selain membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), Jepang mengijinkan para pemimpin ormas Islam yang terdiri dari Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, dan lain-lain yang tergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk membentuk barisan relawan yang berisi para pemuda Islam yang tidak bisa bergabung di PETA.
Pada 14 Oktober 1944, lahirlah barisan Hizbullah di Jakarta. Pelatihan pertama kali diselenggarakan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat dengan diikuti sekitar 500 orang pemuda muslim yang berasal dari 25 karesidenan di Jawa dan Madura. Pelatihan ini dilakukan di bawah pengawasan seorang Perwira Jepang bernama Yamagawa dengan dibantu sejumlah instruktur dari perwira PETA selama 3,5 bulan. Versi lain, buku “Sejarah Nasional Indonesia VI” menyebutkan bahwa pembentukan Hizbullah dilakukan pada 15 Desember 1944. Sementara pelatihan yang dilakukan di Cibarusa hanya berlangsung selama 2 bulan. Keanggotaan Hizbullah pada masa berikutnya sempat mencapai 50.000 personil, sama dengan jumlah pasukan Jibakutai (barisan berani mati). Di bidang kerohanian, mereka berada di bawah bimbingan sejumlah ulama antara lain K.H. Musthafa Kamil dari Jawa Barat untuk pembinaan jasmani; K.H. Mawardi dari Surakarta untuk bidang tauhid; K.H. Imam Zarkasyi dari Pesantren Gontor, Ponorogo; Kyai Mursyid dari Pacitan; Kyai Syahid dari Kediri, K.H. Abdul Halim dari Majalengka untuk bidang politik; K.H. Thohir Dasuki dari Surakarta untuk bidang Sejarah; Kyai Roji’un dari Jakarta; dan KH. Abdullah.
Pelatihan dimulai pada jam 4 pagi dengan bersama-sama melaksanakan shalat Subuh. Setelah itu mereka diharuskan melaksanakan senam pagi (taiso) hingga pukul 6.00. Dilanjutkan dengan apel pagi yang dibuka dengan takbir 3 kali dan berdoa dengan menghadap kiblat. Barisan Hizbullah sejak awal telah menolak untuk melakukan seikerei kepada matahari atau menghadap ke Istana Tokyo sebagaimana anjuran Jepang. Berikutnya mereka melakukan kegiatan kebersihan, mandi, dan makan. Pukul 8.00 hingga 10.00 mereka terlibat dalam kegiatan pengajian dan ceramah keislaman. Pukul 10.00 hingga 12.00 dilanjutkan dengan kegiatan kemiliteran. Setelah shalat Dhuhur pelatihan militer dilanjutkan hingga sore hari. Tengah malam tidak jarang mereka dibangunkan mendadak untuk latihan mengantisipasi keadaan darurat.
Sebagai tanda lulus dari pelatihan, mereka akan mendapatkan surat pengakuan (semacam syahadah) yang diketahui oleh Ketua Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi), yaitu K.H.M. Hasyim Asy’ari. Secara umum, Hizbullah memang merupakan barisan yang dibentuk dengan kewajiban: “Tiap-tiap anggota yang sudah dilatih hendaklah berdjandji bahwa diri dan tenaganja diserahkan boelat-boelat pada ‘Masjoemi’”.