Barisan Hizbullah: Peran Jihad dalam Perjuangan Kemerdekaan
Palagan Ambarawa
Peristiwa Palagan Ambarawa merupakan salah satu momen penting bagi bangsa Indonesia dalam mengusir Inggris. Ambarawa, sebuah kota yang kini berada di wilayah Jawa Tengah, dulunya merupakan salah satu pusat pertahanan penting bagi Belanda dan juga sekutu. Pertempuran ini berlangsung antara 20 November hingga 25 Desember 1945. Kedatangan Inggris di Ambarawa yang mestinya bertugas untuk mengurus tawanan perang, ternyata justru diboncengi NICA dan mempersenjatai tawanannya.
Dalam pertempuran ini Kolonel Sudirman, seorang anggota Muhammadiyah yang taat beragama, menerapkan strategi perang yang dikenal dengan nama “supit urang”. Dengan menggunakan model supit urang, pasukan musuh bisa dikepung dari berbagai arah dan dihancurkan di berbagai lini dengan mempertimbangkan kondisi geografis kota Ambarawa yang di kelilingi sejumlah bukit dan gunung. Strategi penataan pasukan ini sebenarnya merupakan strategi kuno yang sudah sangat lama digunakan oleh raja-raja Jawa. Dalam kitab Kamandaka, sebuah kesusastraan Jawa kuno, strategi ini dinamakan “makara wyuha”. “Makara” di sini berarti “udang” atau sejenis kepiting dan “wyuha” artinya ”gelar pasukan” atau “susunan pasukan”.
Dalam penggunaan strategi ini pasukan setidaknya dibagi ke dalam beberapa kelompok diantaranya: Kelompok pertama, menempati bagian “kepala” atau “tubuh”. Pasukan yang ditempatkan pada bagian ini merupakan pasukan induk yang memiliki kekuatan paling besar. Tugasnya menghabisi musuh yang sudah dibuat lemah oleh pasukan di bagian supit maupun kaki. Bisa diumpamakan, setelah mangsa bisa terpegang oleh sapit (supit/ capit) udang, maka akan segera dimakan oleh bagian kepala atau tubuhnya. Pasukan yang menempati bagian tubuh terdiri dari empat batalyon yang dipimpin oleh Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di bagian kanan, serta mayor Adrongi dan Sugeng Tirtosewoyo di sebelah kiri. Sementara bagian ekor dari tubuh ini diisi oleh para relawan yang menyediakan perbekalan pasukan dan merawat korban perang yang terluka. Bagian ekor ini juga diisi oleh barisan rakyat dan sejumlah laskar yang dipersiapkan untuk memberikan bantuan apabila pasukan-pasukan di bagian tubuh dan supit terdesak. Pasukan di bagian tubuh yang dipimpin oleh Imam Androngi, Sardjono, Soeharto, dan Soegeng Tirtosiswoyo berhasil menggempur kedudukan tentara sekutu yang bermarkas di Gereja dan Pekuburan Belanda di sekitar Jalan Margoagung. Sekutu merasa terdesak dengan serangan ini dan dengan segera mengerahkan serangan udara.
Kelompok kedua, merupakan bagian kaki udang. Pasukan di kaki kiri melakukan pergerakan dari Jambu ke Bandungan dan Baran, sebagian lagi lewat brongkol dengan terus menyerang Sekutu di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari resimen 14/ devisi V Purworejo. Pasukan ini secara umum berfungsi untuk menyapu dan mempersiapkan medan perang termasuk mengantisipasi jebakan yang mungkin ditinggalkan musuh. Terakhir, kelompok ketiga adalah bagian sapit (supit). Pasukan ini biasanya difungsikan untuk menimbulkan ketidakstabilan di kalangan musuh. Serangan-serangan biasanya dilakukan secara mendadak dengan bergerilya.
Dengan menggunakan hikmat Supit Urang, situasi dan kondisi musuh akan senantiasa bisa dipantau. Sementara itu pasukan yang ditempatkan pada bagian sapit (supit) kanan maupun sapit kiri akan terus membuat ketidakstabilan dipihak musuh. Tidak jarang bagian kepala udang menjadi momok menakutkan bagi pasukan musuh yang sudah kacau balau. Barisan Hizbullah dalam pertempuran tersebut mendapatkan tugas tempur di sejumlah titik sapit. Bersama barisan gabungan lainnya dari Surakarta, Hizbullah berhasil menembak jatuh pesawat terbang sekutu di Rawa Pening, di pinggir Desa Sumurup. Pilot pesawatnya tewas dikeroyok oleh rakyat setempat.
Dalam masa perang ini sempat terbentuk satuan pasukan yang disebut Pasukan Gatjo (baca: Gaco), sebuah satuan dalam Barisan Hizbullah yang terdiri dari 46 anggota. Kata “Gatjo” ini bukan berarti “ngawur” sebagaimana maknanya dalam Bahasa Jawa, tetapi merupakan kependekan dari “Gabungan Tjalon Oelama”. Anggotanya terdiri dari para santri yang ke depan di proyeksikan akan menjadi Ulama’. Pada 25 dan 26 Desember 1945, dua orang dari Pasukan Gatjo yaitu Banani dan Salekan mendapatkan syahid dalam sebuah pertempuran di depan Benteng Yansen, Ungaran, sebuah benteng yang dulunya pernah digunakan untuk menawan Pangeran Diponegoro. Jenazah keduanya, kemudian diantarkan ke Surakarta dan dimakamkan di Makam Pahlawan Jurug.
Untuk mendukung perjuangan, Hizbullah seringkali mengkoordinasikan kekuatan rakyat. Setelah Belanda yang membonceng Sekutu mundur dari Ambarawa ke Semarang, komandan Hizbullah yang bernama Munawir Syadzali (pada masa selanjutnya pernah diangkat menjadi Menteri Agama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto), mengumpulkan masyarakat Ungaran untuk dilatih kemiliteran. Mereka terdiri dari guru madrasah, kyai, lurah, camat, pegawai kabupaten, dan masyarakat umum. Para peserta ini berasal dari seluruh kecamatan di Ungaran ini rata-rata dibawa oleh para Kyai dan pimpinan pondok Pesantren masing-masing. Antara lain dari Gunung Pati dibawa oleh Naib Mustajab. Dari Pringapus, Klepu dipimpin oleh Naib M. Turmudi, dan dari daerah lain oleh Carik Suprapto, Kyai Syakur, dan lain-lain. Pelatihan di laksanakan di lapangan Bandarejo di kaki Gunung Sewakul. Di dekat lapangan itu terdapat bekas pabrik tenun milik orang Arab yang kemudian diserahkan untuk difungsikan sebagai markaz Hizbullah. Mereka dipersiapkan agar bisa mempertahankan wilayah jika sewaktu-waktu serangan musuh datang kembali.