Belajar Jadi Manusia yang Mau Memanusiakan Manusia

Dalam kehidupan sosial seringkali manusia mengukur manusia lainnya dari sesuatu yang tampak, seperti tampilannya, status sosialnya hingga keturunnya. Apabila hal itu sebagai alat ukurnya maka kesenjangan sosial akan terjadi. Lebih jauh, akan dapat membentuk sikap buruk yaitu sikap tidak mau memanusiakan manusia.
Manusia makhluk sosial yang saling membutuhkan. Islam telah menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap kita membutuhkan orang lain. Dalam Al-Qur’an kita diperintahkan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama dalam kebaikan.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Kerjasama dan kepedulian menjadi pilar utama dalam kehidupan sosial. Keberhasilan seseorang tidak hanya diukur karena bakat individu, melainkan karena kerja tim, dan saling menguatkan satu sama lainnya. Hal ini mengingatkan kita bahwa setiap keberhasilan manusia sesungguhnya adalah hasil dari kolaborasi, bukan kompetisi semata.
Ironisnya, banyak dari kita begitu mudah menghakimi. Entah karena tampilan, gaya hidup, atau pilihan pekerjaan. Seakan kita menjadi hakim atas diri orang lain, padahal kita sendiri masih jauh dari sempurna. Penghakiman sosial seperti ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menutup ruang bagi empati.
Jauh-jauh hari Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Melalui sabda tersebut, jelas bahwa ukuran manusia di hadapan Allah SWT, bukanlah penampilan luar, melainkan kualitas hati dan perbuatannya. Maka, siapa kita hingga berani memvonis orang lain hanya dari tampilan fisiknya?
Jika kita menengok sejarah, Rasulullah Saw, telah memberikan teladan agung. Beliau menghargai Bilal bin Rabbah, seorang mantan budak berkulit hitam. Beliau mengangkat Shuhaib Ar-Rumi, Salman Al-Farisi, dan orang-orang dari latar belakang non-elit sebagai sahabat dekat. Bahkan dalam sebuah riwayat, beliau duduk bersama orang miskin, menyantap makanan mereka, tanpa merasa lebih tinggi.
Sikap Rasulullah Saw ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengajarkan tauhid, tetapi juga penghormatan terhadap martabat manusia, siapa pun dia. Maka ketika melihat orang lain, kita bisa mengingat kembali bahwa keragaman bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk disatukan dalam cinta kasih.
Islam mengajarkan konsep ukhuwah insaniyah atau persaudaraan kemanusiaan. Ini mencakup bukan hanya sesama Muslim, tetapi seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam …” (QS. Al-Isra’: 70)
Kemuliaan ini bersifat universal. Ia tidak dibatasi oleh suku, agama, warna kulit, atau pekerjaan. Maka merendahkan orang lain, hanya karena perbedaan ini dan itu, adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai luhur Islam.
Contoh konkret dari penerapan ukhuwah bisa kita lihat, dalam suatu komunitas yang saling menopang satu sama lain ketika satu dari anggota yang mengalami kegagalan. Alih-alih meninggalkan atau mencemooh, mereka justru menciptakan ruang aman bagi satu sama lain untuk belajar dan tumbuh. Ruang ini sangat berharga, bahkan seringkali tidak dimiliki oleh banyak dari kita dalam lingkup pertemanan maupun keluarga.