SUARA PEMBACA

Belajar ke Negara Barat untuk Jadi Muslim Moderat?

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Ali Ridho Azhari menyambut baik penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan antara Voice of Istiqlal dengan Kedutaan Amerika Serikat (AS).

MoU tersebut ditandatangani langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Public Affairs Section US Embassy Jakarta, Rachel Cooke, pada Kamis (6/4/2023).

MoU tersebut memuat kerja sama membuka American Space atau American Corner di Masjid Istiqlal. Ali Ridho menilai MoU ini sangat penting karena bisa dimanfaatkan untuk penguatan pendidikan agama, promosi moderasi beragama, promosi budaya antara Indonesia dan Amerika, serta sosial-politik.

Dengan adanya MoU ini, selaku pendiri ‘Santri Mengabdi’ Ali Ridho juga menaruh harapan besar adanya sinergi antara DPD RI, Voice of Istiqlal dan American Space atau American Corner ke depan untuk membangun kerja sama yang lebih besar, salah satunya di dalam pendidikan. Karena tantangan global santri ke depan cukup kompleks.

Ali Ridho berharap kerja sama ini ke depan semakin diperkuat dengan berbagai program lanjutan. Misalnya, ada semacam kerja sama, yang programnya berupa penguatan leadership dan diperuntukkan khusus santri-santri Indonesia untuk belajar di Amerika Serikat (AS). Sehingga santri-santri Indonesia bisa menjadi pengusaha dan menjadi pemimpin di bidang masing-masing.

Memang, belajar di luar negeri terutama di AS menjadi dambaan setiap pelajar di dunia. Kurang lebih satu juta pelajar internasional belajar di AS. AS memiliki atmosfer pendidikan yang baik, mapan, dan berkualitas tinggi. Faktanya, 62 dari 200 universitas terbaik berbasis di AS. Pun dengan negeri Barat lainnya seperti Eropa misalnya.

Hal ini menjadi kebanggan tersendiri bagi calon pelajar, karena Barat merupakan pusat perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ilmuan disiplin ilmu mengembangkan temuannya di benua ini. Di Eropa tersedia banyak beasiswa dan sarana untuk memperluas pergaulan.

Memang, Islam menempatkan ilmu pada posisi yang mulia. Begitu pentingnya ilmu bahkan Abu Darda sekali kesempatan pernah berkata “Bagiku belajar sepanjang malam jauh lebih utama ketimbang jungkir balik salat semalaman suntuk.” Imam Syafi’i berkata, “Menuntut ilmu itu lebih utama dibandingkan shalat sunnah.”

Menyadari derajat dan kemuliaan menuntut ilmu, ulama terdahulu rela berkelana mencari ilmu dari satu kota ke kota lain. Dari satu negara ke negara lain.

Seperti Al Bukhari yang menempuh perjalanan panjang menyusuri kota-kota demi belajar sekaligus mengumpulkan riwayat Nabi Muhammad Saw. Perjalanan terpanjangnya dari Mesir sampai Khurasan dan ia mampu mengumpulkan enam ratus ribu hadits, di antaranya masuk ke dalam kitab Shahih Bukhari. Tentulah menjadi perjalanan yang melelahkan namun membahagiakan dan berlimpah amal jariah.

Namun, hari ini belajar ke negara Barat patut dikritisi, karena kita berada di sistem sekuler (agama dipisahkan dari kehidupan). Barat terutama AS merupakan jantung kapitalisme, negara yang menginginkan ideologi kapitalismenya tetap lestari dan selalu berupaya mencegah kebangkitan Islam.

 AS adalah negara liberal, memiliki angka kriminalitas yang tinggi, LGBT meningkat, masyarakatnya jauh dari rasa berkasih sayang, sehingga amat sangat perlu waspada bila kita ingin menuntut ilmu di sana. Walaupun tidak semua orang dapat menjadi pembebek ide pemikiran dan gaya hidup mereka.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button