SUARA PEMBACA

Belanja Rektor Asing, untuk Apa?

Kabar mendatangkan rektor asing kembali mencuat. Di tahun 2020 mendatang, pemerintah bakal mendatangkan rektor luar negeri. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Menurut Menristekdikti, M.Nasir, wacana itu akan direalisasikan setelah menyusun regulasinya agar berjalan dengan lancar. Menurutnya, daya saing Indonesia di pentas dunia masih sangat rendah. Dengan hadirnya rektor asing, Indonesia diharapkan mampu meningkatan daya saing Indonesia menjadi 100 PTN terbaik di dunia.

Dalam empat tahun, setidaknya beberapa perguruan tinggi di Indonesia diharapkan sudah memiliki rektor yang berasal dari luar negeri. Tak hanya rektor, wacana dosen asing pun akan segera diwujudkan. Nasir menilai saat ini komposisi dosen di Indonesia sangat homogen dan dapat menghambat perkembangan suatu perguruan tinggi. Jika aturan ini selesai, diharapkan akan lebih banyak dosen asing dapat mengajar secara reguler di Indonesia. “Kalau bisa 30-40 persen orang asing. Supaya kolaborasinya makin baik,” ujar Nasir. (Tempo.co, 26/7/2019)

Sebegitu krisiskah kualitas pendidikan tinggi kita? Hingga harus mendatangkan rektor dan dosen asing? Padahal manusia-manusia cerdas di Indonesia cukup banyak. Jika kualitas rektor dan dosen kurang mumpuni, maka itu menjadi PR Kemristekdikti. Bukan mengambil jalan pragmatis dengan belanja rektor asing. Nampaknya Bapak Menteri juga terlalu silau dengan peringkat internasional. Mengejar rangking dengan mengorbankan rektor dalam negeri. Terkesan tak mau susah payah mencari solusi. Rektor lokal tak mumpuni, undang asing saja. Pemikiran ini tak berbeda jauh dengan menteri lainnya yang doyan impor barang dari luar negeri. Bisa-bisa pribumi disesaki dengan orang luar negeri. Dikit-dikit undang asing. Sebentar-sebentar impor asing.

Selain itu, kedatangan rektor asing juga pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. APBN negara juga akan terbebani. Mendatangkan rektor asing itu berat diongkos dibanding rektor pribumi. Uang dari mana? Lebih baik uang itu dipakai untuk perbaiki kualitas dan layanan pendidikan di kampus-kampus negeri dan swasta. Membawa rektor asing apa tidak rentan dengan pemikiran yang mereka bawa? Hal itu sedikit banyak akan memengaruhi pola pikir dan gaya hidup kita.

Perlu dipahami pula, persoalan pendidikan kita bukanlah pengakuan dan rangking dunia, tapi pada persoalan kualitas generasinya. Jangan sampai karena ambisi mengejar kuantitas, lalu lupa dengan perbaikan kualitas. Memang harus diakui, negara berkembang seperti Indonesia masih kalah jauh dibanding negara maju. Mereka memang terdepan dalam teknologi. Namun, moral generasinya mundur ke belakang. Mereka mampu membangun peradaban sains dan iptek. Tapi mereka gagal membangun peradaban manusia yang berakhlak dan bermoral. Janganlah terlalu terpesona dengan kemajuan Barat. Sejatinya itu hanyalah pencitraan untuk menutupi kebobrokan manusianya.

Alangkah bijaknya bila kebijakan ini dipikirkan kembali. Didiskusikan bersama para akademisi. Jangan sampai anak negeri sendiri tersisih. Lebih senang dengan asing dibanding pribumi. Lebih nyaman dengan rektor asing daripada rektor sendiri. Disinilah tantangan seorang menteri. Berpikir keras bagaimana pendidikan tinggi menghasilkan kuantitas dan kualitas generasi yang berimtak dan beriptek tinggi. Tapi, apa bisa bila kacamata pemikiran kita masih menggunakan kapitalisme? Peran negara menjadi mandul. Membuka pintu lebar asing lebih banyak bermain di segala bidang. Tak terkecuali dunia pendidikan. Coba tengok sejarah Islam, ia mampu lahirkan manusia cerdas beriman. Iman dan iptek dikolaborasikan untuk kemaslahatan umat.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Back to top button