OPINI

Bencana Peraturan Presiden untuk Pasir Laut

Pertama, mengapa Presiden Joko Widodo malah mengesahkan PP yang jelas dapat menimbulkan bencana lingkungan tersebut? Ekspor pasir laut telah dilarang sejak 20 an tahun yang lalu karena dampaknya yang sangat berbahaya. Jika memang sedimentasi di laut yang disoal, mengapa tidak dilakukan saja upaya-upaya untuk menghentikan atau minimal mengurangi hal-hal yang menyebabkan sedimentasi tersebut? Umpama, seperti penambangan di daratan.

Kedua, mengapa Pak Presiden tidak memikirkan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam karena ekspor pasir laut tersebut? Turun temurun masyarakat pesisir telah mendiami pulau-pulau tersebut. Bukankah tinggal di bumi pertiwi kita ini, adalah juga hak konstitusional mereka?

Ketiga, mengapa Presiden Joko Widodo tidak memikirkan keberlanjutan hidup dan ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah nelayan kecil tradisional? Jika tidak ada lagi ikan untuk dijala, bagaimana mereka akan makan? Bagaimana pula mereka akan menyambung hidup? Apakah kita tidak takut dengan kemungkinan konflik horizontal besar yang bisa saja terjadi?

Keempat, mengapa Pak Presiden tidak mendengarkan aspirasi dari sekelompok nelayan kecil yang telah berkirim surat di Bengkalis sana? Apakah ada yang lebih penting dari kepentingan

rakyat? Kalau ada, lalu kepentingan siapa itu? Kepentingan orang per orang kah? Kepentingan kelompok kah? Jangan sampai kemudian rakyat nanti menyimpulkan Pak Presiden sedang main mata dengan konglomerat. Belum hilang ketakutan sebagian besar masyarakat Indonesia dengan Perpu Cipta Kerja dan revisi UU Minerba yang menggelar karpet merah untuk eksploitasi tambang di daratan, kini PP No, 26 tahun 2023 malah membuka jalan untuk eksploitasi pasir di lautan.

Kelima, apakah kedaulatan negara yang merupakan amanah UUD 1945 tidak menjadi konsen seorang Presiden Joko Widodo? Ekspor pasir laut bisa saja menggeser batas republik ini karena tergerusnya bibir pantai atau bahkan menghilangkan batas tersebut karena tenggelamnya pulau-pulau terluar di Indonesia. Bukankah Presiden Indonesia disumpah untuk menjaga kedaulatan negara yang kita cintai ini?

Keenam, mengapa ekspor pasir laut yang akan berdampak negatif terhadap lingkungan ini malah menjadi antitesis dari KTT G20 di Bali kemarin? Acara tersebut telah menelan APBN lebih dari 600 miliar rupiah, dan melahirkan G20 Bali Leaders’ Declaration, yang pada poin nomor 15 dengan terang mengatakan akan melakukan upaya bersama untuk langkah-langkah penyelamatan kehidupan di pesisir dan lautan. Mengapa Indonesia yang menjadi tuan rumah malah menjadi yang pertama lupa akan deklarasi tersebut? Jangan sampai rakyat menjadi berprasangka bahwa G20 kemarin hanya proyek mercusuar yang kosong, yang menghabiskan biaya luar biasa besar namun hampir-hampir tidak berfaedah.

Kiranya enam pertanyaan inilah yang menggelayuti pikiran-pikiran masyarakat Indonesia, setelah disahkannya PP No. 26 Tahun 2023 pada 15 Mei kemarin. Untuk itu, Kepada Yang Terhormat Presiden Joko Widodo, kami semua tunggu jawabannya segera.[]

Ridho Rahmadi, Ph.D., Ketua Umum Partai Ummat.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button